REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar kelautan Dr Chandra Motik mengatakan Republik Indonesia harus memiliki seperangkat aturan hukum kemaritiman yang kokoh dan tidak tumpang tindih agar negeri ini dapat disebut sebagai negara maritim.
"Kita belum menjadi negara maritim tetapi masih negara kepulauan," kata Chandra Motik dalam seminar tentang pembangunan perikanan di Jakarta, Rabu (27/4).
Menurut dia, sebuah negara maritim adalah negara yang menjadikan laut sebagai tulang punggung perekonomian, yaitu yang menguasai perdagangan dan transportasi laut. Namun, ia mengemukakan ada aturan terkait kelautan yang masih tumpang tindih, seperti ada kebijakan peraturan presiden yang memberlakukan Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai satu-satunya instansi yang berwenangan menegakkan keamanan di laut, tetapi kemudian dibentuk pula Satgas Anti Pencurian Ikan atau Satgas 115.
"Kami menyarankan kepada DPR untuk meninjau ulang satgas," katanya.
Begitu pula dengan Bakamla yang seharusnya menjadi institusi tunggal, ujar dia, tetapi pada kenyataannya di lapangan setiap instansi masih jalan sendiri-sendiri di laut. Hal tersebut dinilai juga mengakibatkan sejumlah persoalan seperti satu kapal penangkap ikan bisa diperiksa berkali-kali oleh berbagai lembaga yang berbeda-beda.
"Seharusnya dengan poros maritim hal seperti ini tidak ada lagi," tuturnya.
Chandra Motik juga berpendapat bahwa budaya maritim saat ini telah hilang, yang terindikasi antara lain dari sekitar 240 juta penduduk nasional, ternyata hanya 2,3 juta warga yang bergelut di bidang kemaritiman. Indikasi lainnya, lanjutnya, adalah kualitas dan kuantitas SDM maritim dinilai jauh dari cukup, belum dapat membangun teknologi perikanan sendiri yang dapat menggali seluruh potensi perikanan yang ada.