REPUBLIKA.CO.ID, Masih banyak orang dewasa yang menganggap wajar menonton film porno. Banyak yang beranggapan mengonsumsi film biru tersebut bisa jadi 'halal' jika tujuannya untuk pendidikan seks dan memuaskan pasangan sehingga terjalin kehidupan rumah tangga yang mesra. Apakah anggapan tersebut benar berdasarkan agama?
Hubungan seks dalam ajaran Islam sangat suci. Dalam surah Yasin ketika Allah menjelaskan keberpasangan makhluk-Nya, dimulai-Nya penjelasan itu dengan kalimat ''Mahasuci''. ''Maha suci Allah yang menciptakan pasangan-pasangan seluruhnya, dari jenis yang tumbuh di bumi, dari jenis mereka (manusia) maupun dari makhluk-makhluk yang mereka tidak ketahui.'' (QS Yaassin [36]:36).
Pakar tafsir Quran Prof Quraish Shihab dikutip dari Pusat Data Republika, menjelaskan, Rasulullah SAW bersabda bahwa hubungan suami istri merupakan ibadah dan mereka memperoleh ganjaran dari Allah SWT bila melakukannya sesuai petunjuk agama. Dari sini. Islam memberi tuntunan agar hubungan tersebut dilakukan dengan baik, dimulai dengan berdoa kepada Allah SWT agar dihindarkan dari setan dan semoga menghasilkan anak keturunan yang shaleh.
Nabi Muhammad juga menggarisbawahi agar hubungan tersebut tidak dilakukan dalam keadaan telanjang bulat seperti binatang. Rasul bersabda: Apabila salah seorang dari kamu berhubungan seks dengan pasangannya, maka hendaklah dia menutup (auratnya) dan tidak telanjang sebagaimana keledai telanjang. (HR Ibnu Majah).
"Hindarilah telanjang, karena bersama kalian ada (malaikat) yang tidak meninggalkan kalian kecuali ketika buang air dan ketika seseorang bercampur dengan istrinya''. (HW Attirmizi). Aisyah istri Nabi SAW menyatakan, ''Saya tidak pernah melihat dari beliau (auratnya).Beliau pun tidak pernah melihat dari saya.''
Di sini dapat timbul pertanyaan apakah sabda tersebut dan semacamnya merupakan anjuran hingga tak berdosa melanggarnya - atau perintah, sehingga haram melakukannya? Dalam kitab-kitab hukum Islam, seperti Alfiqh 'Alal Mazahib Al-Arba'ah dijelaskan bahwa ''berbeda-beda definisi perkawinan dalam pandangan ulama mazhab, namun kesemuanya dapat dikembalikan kepada satu makna yaitu bahwa: Akad pernikahan ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya agar suami memiliki hak untuk memanfaatkan alat kelamin istri dan seluruh badannya dalam rangka memperoleh kelezatan. Wahbah Azzuhaily menjelaskan bahwa akad perkawinan adalah: ''Akad yang mengandung kebolehan menikmati wanita dengan jalan bersetubuh, hubungan seks, ciuman dan lain-lain, dengan syarat bahwa wanita itu bukan mahram bagi pria tersebut, baik karena keturunan, persusuan, maupun periparan.
Akad ini, ditetapkan oleh agama hingga menghasilkan kepemilikan suami untuk meraih kenikmatan melalui istri dan kehalalan istri meraih kenikmatan dari suami. Yang perlu digarisbawahi dalam konteks pertanyaan di atas adalah kalimat-kalimat: Memanfaatkan alat kelamin istri dan seluruh badannya dalam rangka memperoleh kelezatan serta kebolehan menikmati wanita dengan jalan bersetubuh, hubungan seks, ciuman dan lain-lain. Ini berarti bahwa cara apapun yang digunakan oleh suami atau istri dalam rangka hubungan seks dapat dibenarkan dari segi hukum. Tetapi dari segi moral dan anjuran agama.
Namun demikian perlu juga diingat bahwa Alquran menegaskan bahwa ''istri-istri kamu adalah ladang/tempat bercocok tanam untuk kamu, maka datangilah ladangmu bagaimana/kapan/di mana pun kamu sukai'' (QS Al Baqarah [2]: 223). Ayat ini mengisyaratkan bahwa hubungan seks harus dilakukan pada atau menuju ke jalan yang mengantar kepada kelahiran anak, bukan pada 'jalan' selainnya.
Sedangkan kata ladang/tempat bercocok tanam pada ayat di atas mengecualikan kata di mana pun 'yang tersebut di atas'. (QS Al Baqarah [2] 222) yang mengandung larangan bercampur dengan istri pada masa haidnya, mengecualikan kepada 'kapan' di atas. Adapun soal menonton film biru dan semacamnya, dengan dalih pendidikan seks, dinilai sangat dibuat-buat.
Kalau pun itu benar, maka ia tetap haram, lebih-lebih bagi muda-mudi, karena mudharrat yang diakibatkan berupa rangsangan yang dapat mengantar kepada perbuatan haram, jauh lebih besar dari 'manfaat' yang disebutkan itu.
Quraish menjelaskan, memang boleh jadi ada yang membenarkan menontonnya dengan alasan bahwa yang ditonton hanya film yang berupa bayangan bukan kejadian sebenarnya. Tapi sekali lagi ini adalah alasan yang sangat lemah, karena ketetapan hukum Islam harus dikaitkan pula dengan dampak-dampaknya, yang tontonan tersebut dampak negatifnya tidak dapat disangsikan lagi.
Boleh jadi ada juga yang dapat menoleransinya dalam batas tertentu bagi pasangan suami istri, yang tidak dapat melakukan hubungan seks, kecuali dengan rangsangan tersebut. Namun agaknya alasan ini pun, masih belum sepenuhnya dapat diterima oleh banyak ulama.