REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang warga korban penggusuran Kawasan Pasar Ikan, RW4/RT1, Penjaringan, Jakarta Utara, Aam (25 tahun) merasa sedih harus tinggal di rumah susun (rusun) Kapuk Muara. Sebab, tiga orang anak yatim piatu dari etnis Tionghoa harus keluar dari makar di Blok A Lantai II rusun agar dia dapat tinggal di sana.
"Emang saya korban penggusuran, tapi saya enggak tega karena keberadaan saya di sini seperti ngusir orang," kata Aam yang suaminya bekerja sebagai nelayan di Dermaga Luar Batang, Kamis (28/4). (Etnis Tionghoa Melawan Ahok).
Aam mengaku meskipun dirinya korban dari penggusuran, nuraninya seakan tidak rela kalau sampai mengusir anak yatim. "Saya baru mindahin barang ke sini Senin (24/4), dan baru menginap Rabu (27/4) kemarin. Tapi saya enggak tahu kalau dulunya ini ditempati anak yatim piatu," kata dia.
Menurut Aam, tiga anak yatim piatu itu telah diusir pengelola. Dia mengetahui hal tersebut dari pengakuan sejumlah warga penghuni rusun yang telah lama tinggal di sana. "Misalkan merugikan uang, mending (Pemprov DKI) ngasih uang ke saya buat balik ke kampung. Biarin anak yatim itu pindah ke sini lagi," tegas dia.
Jika pemerintah memberi ganti rugi atas bangunan rumahnya yang hancur di Kawasan Pasar Ikan, Aam tidak ingin tinggal di rusun itu. Karena meskipun telah dizalimi pemerintah, dirinya tidak ingin menzalimi orang lain.
"Saya tidak ingin merampas hak dia, karena tidak tega," kata dia. "Biarpun bekas korban penggusuran, saya masih punya perasaan."
Aam mengingatkan, seharusnya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaka Purnama alias Ahok harus menonjolkan dialog dengan warga. Selain itu, selama berada di sini tidak ada seorang pun dari Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang menghampirinya. "Bantuan malahan banyak datang di Pasar Ikan," terang dia.
Dia mengatakan, sejak penggusuran di Kawasan Pasar Ikan, membuat suaminya tidak bekerja selama sebulan, salah satu anaknya putus sekolah TK dan satunya masih kecil. Kepindahan Aam ke rusun Kapuk Muara bukanlah pilihan, namun karena paksaan. "Kalau anak tidur di perahu takut kecebur, kalau di sini takut jatuh dari tangga," terang dia.
Sekarang suaminya masih menunggu perahu tradisional di Kawasan Pasarr Ikan. Padahal, belum dapat berlayar karena tidak memiliki uang. Untuk bantuan sendiri, beberapa hari ini malah dapat dari LSM, organisasi masyarakat dan individu yang peduli.
Sampai saat ini, wajahnya yang masih terlihat bingung bukan hanya haknya dirampas Pemprov DKI. Namun hatinya juga tidak tega harus tidur di unit rusun yang seharusnya dimiliki anak yatim piatu.