REPUBLIKA.CO.ID,MEDAN -- Penyelenggaran pemerintah dalam rangka otonomi pun mengalami perkembangan seiring diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah menjadi penting. Ini menjadi bentuk perubahan kebijakan yang memerlukan usaha dalam pelaksanaan dan penerapan secara menyeluruh.
"Pemerintah sudah mencanangkan politik desentralisasi sejak lama. Kita sudah mengimplentasikan selama 17 tahun dan kita justru paling progresif melakukan desentralisasi," kata Suhajar Diantoro Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri Bidang Pemerintahan.
Poin penting yang dibahas dalam penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahum 2014 Tentang Pemerintah Daerah di samping tanggung jawab pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, hal lain yang disinggung berupa membagi urusan. Pembagian urusan ini dilakukan dengan memasukan dalam lampiran Undang-Undanh agar tidak dilanggar oleh Undang-Umdang sektor.
Selain itu, reposisi urusan, seperti permasalahan hutan, tambang, laut dibawa ke Provinsi juga menjadi pembahasan. Ini dilakukan sebab bersifat ekologis musim, melewati batas-batas administrasi sebuah pemerintahan sehingga pengaturannya diberukan kepada pemerintahan yang lebih tinggi yaitu provinsi. Meski begitu, permasalahan bagi hasil tetap melibatkan Kabupaten/Kota sehingga hasilnya tetap dapat dirasakan bersama.
Permasalahan Perda Kabupaten/Kota dapat dibatalkan oleg Gubernur atau Wakil Gubernur, tapi dengan begitu Kabupaten/Kota dapat mengajukan ke Kementerian Dalam Negeri, jika Kementerian Dalam Negeri justru memlnguatkan keputusan Gubernur maka bisa mengajukan ke Mahkamah Agung sebagai Judicial Review.
Mekanisme yang dibuat melalui cara bertahap seperti dilakukan agar memberikan segala peluang kemungkinan. Keputusan tidak hanya diberikan kepada satu pihak saja, tapi pihak lain dapat memberikan keputusan bandingan lain.
"Apa yang kita buat ini jangan kasih kekuasaan di satu tanglgan, ini akan cenderung korup di Indonesia, maka selalu siapkan chek and balance," kata Tim Penyusun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Made Swandi.
Contoh saja, jika ada seorang gubernur yang tidak mau melantik seorang bupati, maka wakil gubernur bisa melakukannya. Jika wakil gubernur pun tidak mau, maka kewenangan tersebut bisa diambil oleh Kementerian Dalam Negeri. Adanya mekanisme pengalihan kewenangan memberikan kemungkinan berjalannya pemerintahan lebih lancar. Tidak ada kemacetan dalam pemutusan untuk melakukan keputusan di satu bagian.
"Ini lebih pada kebijakan afirmasi, pemerintahan tidak macet, ada kepastian hukum, hubungan yang tegas anatara pemerintah pusat dan daerah," kata Made.
Indonesia merupakan negara kesatuan, sehingga pemerintahan pusat tetep memiliki peranan di daerah untuk bertangung jawab dan ikut terlibat dalam pengaturan. Berbeda hal jika negara tersebut berbentul federasi, maka pemerintah daerah memiliki kekuatan yang lebih kuat dan pemerintah pusat tidak bisa ikut campur secara langsung.
Bentuk negara kesatuan yang dikomamdoi oleh pemerintah pusat juga disebabkan tugas mengakomodasi kearifan lokal yang belum bisa berjalan dengan baik. Sehingga pengawasan masyarakat pada pemerintah daerah tidak seluruhnya bisa dilakukan. Jika rakyat bisa mengontrol pemerintah daerah maka memungkinkan pengurangan interfrensi pemerintah pusat.