Jumat 29 Apr 2016 19:24 WIB

Pemerintah: Isu Krusial Revisi UU Pilkada Telah Mengerucut

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Pilkada (ilustrasi)
Foto: berita8.com
Pilkada (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengesahan Revisi UU Pilkada dipastikan gagal dalam masa sidang IV DPR kali ini, dan ditargetkan pada masa sidang V DPR yang dimulai 17 Mei mendatang.

Kendati begitu, Pemerintah mengatakan pembahasan terhadap isu-isu alot yang sebelumnya menyebabkan molornya pengesahan revisu UU telah mengerucut. Sehingga, UU Pilkada bisa segera disahkan setelah masa sidang DPR dimulai kembali.

"Bisa kita yakini akhir Mei sudah disahkan, jadi Juni kita dah punya Undang-undang baru," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Sumarsono di Gedung Kemendagri, Jakarta. Jumat (29/4).

Ada pun poin-poin persoalan dalam pembahasan yang sudah mengerucut antara lain terkait syarat pencalonan perseorangan maupun partai politik, politik uang, dan keharusan mundur anggota DPR, DPRD, dan DPD.

Ia mengungkap, jika sebelumnya syarat presentase dukungan perseorangan ingin dinaikkan oleh DPR dari semula 6,5-10 persen, akhirnya tetap bertahan sesuai dengan pengajuan Pemerintah. Namun, disyaratkan, harus ada peningkatan kualitas dalam verifikasi dukungan calon perseorangan.

"Mereka (DPR) bisa memahami 6,5-10 persen itu. Itu fiks dan tidak diotak atik lagi," ujarnya.

Untuk syarat presentase dukungan partai politik sendiri, Pemerintah mengembalikan kepada fraksi-fraksi di DPR untuk memutuskan apakah sesuai usulan Pemerintah yakni 20 persen kursi DPRD atau 25 persem suara sah Pemilu DPRD.

Dalam hal ini Pemerintah kata Sumarsono, mempertimbangkan dikembalikan ke fraksi karena berkaitan langsung dengan Parpol. Meskipun diakuinya, internal di fraksi sendiri belum ada kesepakatan bulat mengenai hal tersebut.

"Kalau sesuai dengan kami ya terimakasih, tapi kami kembalikan ke fraksi, karna ada sebagian juga fraksi yang sama dengan kami, ada yang minta diturunkan," ujarnya.

Adapun perbedaan ini dinilai wajar menurut Pemerintah, lantaran penurunan syarat dukungan bagi Parpol berpengaruh terhadap kemunculan calon-calon dari partai di Pilkada.

Selain itu, poin lainnya terkait penguatan Bawaslu untuk menjatuhkan sanksi pembatalan calon kepada pelaku politik uang.

Menurutnya, kedua pihak telah satu pemahaman mengenai sanksi tersebut, tetapi masih mencari formulasi jenis politik uang yang bisa diberi sanksi. Ia melanjutkan, hal ini penting agar penjatuhan sanksi politik yang tidak tepat, berpeluang merugikan pasangan calon.

"Kan money politik enggak mungkin oleh calon langsung, tapi melalui Timses atau saudaranya. Nah ini perlu diperjelas caranya bagaiamana, jangan-jangan nanti jadi serangan bagi calon lawannya, ini belum kita putuskan," ujarnya.

Sementara terkait keharusan mundur anggota DPR, DPRD, dan DPR dalam Pilkada, Pemerintah dan DPR telah sepehamaman mengenai ketentuan mundur meski dari alat kelengkapan dewan (AKD). Sementara dari keanggotaan dewan sendiri cukup cuti sementara, seperti halnya dengan calon dari pejawat.

Namun mantan Penjabat Gubernur Sulawesi Utara itu mengungkapkan, terkait poin tersebut, Pemerintah meminta DPR kembali berkonsultasi dengan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum disepakati kedua belah pihak.

"Kami nggak mau baru disahkan, nanti langsung digugat ke MK lagi, makanya kalau MK positif, kita dorong kesepakatan," kata Sumarsono.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement