REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Rabithah Haji Indonesia Ade Marfuddin mengapresiasi kebijakan baru Kementerian Agama (Kemenag) yang akan menyediakan makanan dua kali sehari untuk para jamaah haji selama beribadah di sana.
Kendati demikian, menurutnya, Kemenag perlu menjelaskan secara terperinci dan transparan perihal sumber dana yang digunakan untuk merealisasikan kebijakan tersebut kepada para jamaah.
Ia menilai, walaupun kebijakan Kemenag tersebut sangat baik dan layak diapresiasi, namun tetap harus ada dasar atau payung hukum terkait dana yang digunakan. “Artinya harus jelas, apakah dana ini bagian dari APBN atau bersumber dari dana optimaliasasi (dari jamaah haji) yang mengendap setiap tahun,” ujar Ade kepada Republika.co.id, Jumat (29/4).
Transparansi perihal dana, menurut Ade, penting dilakukan Kemenag. Sebab, ibadah haji, lekat dengan istilah mabrur. “Biar mabrur, dana yang berkaitan dengan penyelenggaraan haji, harus jelas dan transparan. Jangan sampai dana yang sudah tercampur-campur,” ungkapnya.
Menurutnya, pemerintah dalam hal ini adalah Kemenag, perlu mencontoh pemerintah Malaysia. Pemerintah di sana, selalu melaporkan perihal pemakaian dan pemanfaatan anggaran haji secara transparan kepada masyarakatnya.
Ia berpendapat, sebelum kebijakan memberi makan gratis dua kali sehari dilaksanakan, pemerintah harus terlebih dulu menerangkan soal sumber dananya. “Misalnya, pemerintah cukup memberitahukan dana program baru ini diambil dari dana optimalisasi jamaah haji,” tuturnya.
Sebab selama ini, Ade melihat, pemerintah belum cukup transparan soal anggaran haji. Berkaitan dengan program baru Kemenag tersebut, ia berharap dan meminta kepada pemerintah agar bisa membuka selebar-lebarnya laporan anggaran yang transparan kepada jamaah dan publik.