REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses revisi UU No 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) hingga saat ini masih menjadi sorotan banyak pihak, baik dari kalangan masyarakat, pengamat, peserta, hingga lembaga yang berkaitan dengan Pemilihan Umum.
Dalam prosesnya, salah satu dari tujuh poin yang akan dimasukkan dalam revisi UU tersebut ialah mengenai sistem peradilan pidana Pilkada yang dirasa perlu perbaikan secara signifikan.
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto mengatakan selayaknya proses peradilan Pilkada diberikan kepada pengadilan di bawah Mahkamah Agung (MA).
Sebelum ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) menjadi lembaga peradilan yang diberikan wewenang. Namun saat ini terdapat wacana untuk mengembalikan wewenang tersebut ke lembaga pengadilan di bawah MA.
Menurut dia, perubahan tersebut merupakan tanda bahwa Indonesia sebenarnya masih mencari wujud yang tepat bagi lembaga peradilan Pilkada. Berdasarkan analisa yang dia berikan, meskipun peran peradilan akan dikembalikan kepada MA namun hanya akan memproses kasus-kasus tertentu.
Tidak semua kasus harus dibawa ke pengadilan karena bisa saja memiliki fungsi arbitrase atau semacamnya yang bisa diselesaikan dengan cepat. Sehigga tidak semua harus dibawa ke pengadilan, ujarnya menegaskan.
Sementara itu, pada proses revisi UU Pilkada juga muncul pendapat agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ditasbihkan menjadi lembara peradilan Pilkada seperti yang dimaksud.
Menurut Satya, pilihan untuk menjadikan Bawaslu sebagai lembaga peradilan Pilkada bisa menjadi solusi dari sejumlah kritikan terhadap banyaknya lembaga yang mengurusi masalah sengketa Pilkada.