REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Klaim Israel belum lama ini bahwa dataran tinggi yang direbutnya dari Suriah beberapa dasawarsa lalu akan tetap menjadi bagian dari negara Yahudi ditolak oleh Dewan Keamanan PBB.
"Dataran Tinggi Golan akan selalu berada di tangan Israel," kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pertemuan kabinet pertamanya mengenai Dataran Tinggi Golan pada 17 April.
"Sudah tiba waktunya setelah 40 tahun bagi masyarakat internasional untuk akhirnya mengakui bahwa Dataran Tinggi Golan akan selamanya berada di bawah kedaulatan Israel," kata Netanyahu.
Dewan Keamanan (DK) PBB pada Selasa (26/4) menyampaikan "keprihatinannya yang mendalam" sehubungan dengan pernyataan Netanyahu mengenai Golan, dan menegaskan status tanah yang diduduki di perbatasan Suriah dengan Israel "tetap tak berubah".
Pernyataan tersebut dikeluarkan saat Liu Jieyi, Wakil Tetap Tiongkok yang memangku jabatan Presiden bergilir DK untuk April, berbicara kepada wartawan di Markas Besar PBB di New York, AS, setelah pertemuan tertutup Dewan Keamanan.
Resolusi 497 pada 1981 Dewan Keamanan menjelaskan keputusan Israel pada saat itu untuk memberlakukan administrasi, jurisdiksi dan hukumnya di Dataran Tinggi Golan "batal dan tidak sah tanpa dampak hukum internasional", kata Liu.
Israel merebut Dataran Tinggi Golan dari Suriah dalam Perang Timur Tengah 1967. Kedua negara bertetangga itu menandatangani kesepakatan gencatan senjata pada 1974 dan pasukan pengawas PBB telah ditempatkan di garis gencatan senjata sejak itu.
Israel secara sepihak mencaplok dataran tinggi strategis tersebut pada 1981, tindakan yang tak pernah diakui oleh masyarakat internasional. Bashar Al-Jaafari, Wakil Suriah untuk PBB, telah mencela pernyataan Netanyahu sebagai "provokatif", demikian laporan Xinhua, Ahad (1/5).
Al-Jaafari mengatakan negaranya memiliki hak untuk mengambil kembali Dataran Tinggi Golan berdasarkan Piagam PBB. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), suara kolektif Dunia Islam, menggambarkan pernyataan pemimpin Israel tersebut sebagai tindakan berbahaya untuk menantang hukum dan resolusi internasional.