Senin 02 May 2016 10:17 WIB

Kementerian Perindustrian Klaim tak Monopoli Peta Jalan Industri Tembakau

Petani memetik daun tembakau bagian atas yang tersisa di Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (1/12).
Foto: ANTARA
Petani memetik daun tembakau bagian atas yang tersisa di Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (1/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Enny Ratnaningtyas mengatakan, peta jalan industri tembakau itu hasil lintas kementerian. Termasuk kementerian kesehatan, kementerian keuangan, kementerian pertanian, kementerian perdagangan. Jadi, penilaian peta jalan monopoli Kemenperin, tidak tepat. 

"Semua kementerian ikut membahas, peta jalan itu bukan monopoli Kementerian Perindustrian. Kami mengundang semua, termasuk Kementerian Kesehatan," kata Enny, saat dihubungi wartawan, Ahad (1/5) malam.

 

Peta jalan industri tembakau itu sudah memperhatikan semua aspek, termasuk aspek kesehatan dan juga disesuaikan target cukai yang tiap tahun naik. Adapun soal target produksi rokok 524 miliar batang pada 2020 juga sudah memperhatikan berbagai aspek mulai laju inflasi hingga target pertumbuhan ekonomi.

"Dalam peta jalan sebelumnya, sebanyak 260 miliar batang itu juga sudah melampaui target. Angka 520 miliar batang itu, sudah memperhitungkan banyak hal. Dengan target itu juga supaya pemerintah tahu kebutuhan tembakau berapa," ucap dia.

Dengan target tadi itu, kata Enny, otomatis semua menghitung berapa jumlah tembakau yang diperlukan. Sehingga dari sisi Kementerian Pertanian bisa menghitung, kalau dirasa kurang perlu meningkatkan produksi ataukah bisa impor. Namun, semua akan terdata terekam.

"Jadi, peta jalan itu kesepakatan bersama. Jangan lupa, ada target keuangan dari sisi cukai. Kalau dari sisi kesehatan kita tahu ada PP 109, dan jelas ada aturan bagaimana merokok tidak sembarangan.  Dari sisi produksi pun itu sebenarnya tidak tinggi, dihitung mengikuti inflasi," ucap dia.

Enny berkata, peta jalan industri tembakau agar semua kementerian punya peran. Dengan peta jalan, justru akan tergambar misal berapa banyak kebutuhan cengkeh. "Nah, peta jalan itu juga untuk membuat industri lebih teratur sekaligus menekan impor-impor tembakau yang tidak terdata," kata dia.

"Sebelumnya kan jadi rusuh, dibiarkan saja, ini dikembangkan, sehingga tren jenis tembakau seperti apa, supaya sesuai dengan peta jalan."

Dari sisi kesehatan, dari cukai ada juga pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah  (PDRD) sebesar 10 persen yang dikompenasikan ke kesehatan. "Artinya kesehatan diberikan porsi dalam peta jalan itu," ucap Enny.

Jika kemudian sejumlah kalangan menilai industri hasil tembakau berbahaya, menurut Enny itu sah-sah saja. Namun, industri hasil tembakau merupakan industri yang legal dan mengikuti aturan yang sangat ketat, membayar cukai, dan masuk kategori produk pengawasan. 

"IHT kan legal, dari sisi pendirian usaha baru saja makin berat, industri ini sangat diatur. Bahkan pemerintah sampai memonitor misalkan mesin peliting harus didaftarkan, agar diketahui kapasitas produksinya. Kami tidak menjerumuskan masyarakat untuk merokok, justru mengaturnya. Masak segalanya selalu disebabkan asap rokok," kritik Enny.

Sebelumnya Guru Besar Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany dalam opini salah satu harian nasional menyebut Kementerian Perindustrian telah mengganjal Nawacita Presiden Jokowi karena menerbitkan Permenperin Nomor 65 Tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau. Tak cuma itu saja, ia mengklaim tiap tahun industri rokok memakan nyawa lebih dari 200 ribu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement