REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, mengatakan pemerintah daerah harus ikut memperhatikan proses rekruitmen guru honorer. Menurut Mendikbud, proses rekruitmen tersebut tidak boleh merugikan kedua belah pihak.
"Rekruitmen guru honorer harus bertanggungjawab. Harus dipastikan apakah nantinya akan menjadi pegawai tetap atau tidak," jelas Anies kepada wartawan di Jakarta, Senin (2/5).
Dia mencontohkan ada instansi yang mudah mempekerjakan guru honorer. Sebab dalam beberapa kasus mempekerjakan mereka tidak perlu persetujuan dari pemegang saham. Permasalahannya, lanjut Anies, adalah saat sudah bekerja dua hingga tiga tahun para guru honorer meminta kepastian diangkat.
"Karena tanpa persetujuan tentu pemegang saham bingung. Kasihan nasib para guru honorer kalau kondisinya seperti ini. Karenanya, setiap daerah harus punya tanggung jawab mengawasi rekruitmen ini," papar Anies.
Lebih lanjut dia menuturkan, pada 2000 lalu, ada 84.000 guru honorer di Indonesia. Pada 2015, jumlah guru honorer naik drastis hingga 820 ribu orang. Padahal, jumlah guru siswa hanya mengalami peningkatan sebanyak 17 persen.
Anies menjelaskan tanpa adanya guru honorer perbandingan guru dengan siswa di kelas adalah 1:20. Adanya guru honorer membuat perbandingan daya ampu guru menurun menjadi 1:14. Anies membandingkan kondisi ini dengan keadaan daya ampu di Korea Selatan sebanyak 1 : 30 atau Jepang yakni 1 : 26.
"Menilik angka ini, sebaiknya yang diperhatikan bukan jumlah guru yang sedikit, melainkan proses rekruitmennya. Satu sekolah merekrut dua guru honorer tentu tidak jadi soal. Namun, bagaimana jika ada 200 sekolah semuanya mempekerjakan guru honorer, tentu ini masalah," tegas Anies.