Selasa 03 May 2016 19:02 WIB

Indonesia Masih Berpotensi Kembangkan Hedging Syariah

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Nur Aini
Hedging Syariah (Ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Hedging Syariah (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dinilai masih berpotensi mengembangkan transaksi lindung nilai (hedging) syariah kompleks. Regulasi hedging syariah terbaru dari Bank Sentral baru memuat hedging syariah sederhana.

Direktur Eksekutif Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) Universitas Trisakti Nadratuzzaman Hosen menjelaskan, ada dua model hedging syariah yang dikenal, sederhana dan kompleks yang melibatkan pasar komoditas. Hedging syariah sederhana sudah diatur Bank Indonesia (BI) dalam Peraturan Bank Indonesia No.18/2/PBI/2016 tentang transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah (hedging syariah). Karena sederhana, hedging syariah ini hanya bisa dilakukan nasabah ke lembaga keuangan syariah, lembaga keuangan konvensional ke lembaga keuangan syariah atau sesama lembaga keuangan syariah.

Sementara hedging syariah kompleks belum diadopsi baik oleh BI maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hedging syariah ini melibatkan pasar komoditas atau suq al-sila sehingga lebih longgar karena sifatnya perdagangan. ''Indonesia harus contoh suq al-sila. Semua persoalan bank Islam larinya ke instrumen ini. Buat pelaku pun jadi lebih ringkas,'' kata Nadratuzzaman usai The 55th ACI Congress, belum lama ini.

Indonesia sudah punya Jakarta Future Exchange (JFX) di bawah pengawasan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Terlebih JFX juga sudah mendapat fatwa untuk bisa menangani transaksi syariah.

Tidak seperti hedging sederhana, hedging kompleks memang memiliki beberapa tahap yang didahului dengan transaksi spot lalu forward agreement. Polanya seperti perdagangan menggunakan bursa komoditas.

Hal yang paling bagus secara syariah, kata Nadratuzzaman, adalah yang menggunakan komoditas. Di dalamnya memang ada tawarruq yakni kegiatan dimana ketika seorang membeli suatu komoditi secara angsuran pada harga tertentu dan kemudian menjualnya untuk mendapatkan likuiditas kepada pihak lain secara tunai pada harga yang lebih rendah dari harga asalnya.

Di Timur Tengah, tawarruq tidak menemui masalah. Sementara di Indonesia, tawarruq masih dipandang masalah. Padahal fatwa DSN tidak mempermasalahkan jika memang ada kebutuhan (lil hajah). Hal yang jelas tidak boleh adalah saat seseorang yang sudah membeli komoditas lalu menjual kembali komoditas ke penjual pertama (bai al-inah).

''Transaksi akan kembali pada tujuannya. Begitu seseorang atau institusi sudah membeli komoditas, dia boleh menjual kembali komoditas itu karena sudah menjadi haknya meski belum lunas pembayarannya,'' tutur Nadratuzzaman.

Transaksi hedging syariah menggunakan bursa komoditas, kata Nadrazzaman, sebenarnya ringkas. Tapi karena BI dan OJK belum mengizinkan, transaksi tidak berjalan, padahal sudah tersedia di JFX.

Pada hegding sederhana dengan wa'ad, bank syariah tidak punya rekan hedging jika hasil hedging ternyata rugi. Jika memakai komoditas, lembaga keuangan syariah bisa lebih longgar karena pilihan komoditas untuk transaksi beragam.

''Kebutuhannya sudah ada sejak empat tahun lalu. Ini tidak bisa dinafikan. Tinggal pengaturannya,'' kata Nadratuzzaman.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement