REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Salim Said mengatakan, jangan berasumsi pembebasan WNI 10 ABK kapal Brahma 12 yang dibebaskan Abu Sayyaf tidak ada bayarannya. Salim mengatakan, tidak ada pemerintah yang mau mengaku membayar teroris.
“Mana ada pemerintah di dunia mau ngaku bayar teroris? Mana ada yang mau ngaku?” katanya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (4/5).
Dalam acara Indonesia Lawyers Club, Salim mengatakan, ada kompetisi klaim di antara politisi. Menurut Salim, kelak ini menjadi peringatan bagi pemerintah sebagai pelajaran agar tidak ada lagi elite politik berebut klaim.
“Ke depan, pemerintah harus menggunakan diplomasi total supaya tidak ada klaim-klaim. Justru, dengan adanya kompetisi klaim, menguntungkan penyandera,” ungkapnya.
Letak keuntungan para penyandera itu, lanjut Salim, mereka dapat uang dari banyak grup. “Hamid Awaludin dikirim JK. Belum lagi grup Surya Paloh mengirim LSM, grup menlu. Artinya, para penyandera ini menerima tebusan dari kiri-kanan,” papar Salim.
Kalau melihat sejarah, ungkap Salim, sebelum adanya negara Republik Indonesia, kawasan itu memang rawan bajak laut perompak. “Sejarah kriminal ini sudah panjang. Bajak laut atau perompak menyandera orang sudah pasti akan meminta tebusan uang. Jadi, enggak ada ceritanya perompak melepaskan begitu saja sanderanya tanpa ada imbalan.”
Baca juga, 10 WNI Sandera Abu Sayyaf Akhirya Dibebaskan.