Lokasi geografis menyebabkan Fiipina secara berangsur-angsur ditarik ke dalam perdagangan maritim internasional yang membentang dari Laut Merah hingga laut Cina. Dari abad ke-9 sampai awal abad ke-16, perdagangan ini hampir seluruhnya dikontrol oleh saudagar-saudagar Islam.
Dalam bukunya, Dinamika Islam di Filipina, Caesar Adib Majul (1989) menulis bahwa dalam sejarah diketahui pedagang Islam telah mengunjungi Kalimantan pada abad ke-10, dan beberapa di antaranya menetap di Sulu pada awal abad ke-13. Pada masa itu, pedagang Islam sering singgah di kepulauan Filipina dalam perjalanan mereka ke utara menuju Cina.
Pada abad selanjutnya, para pendakwah Islam (mahdumin) dari kepulauan Indonesia yang berdekatan dengan Sulu, dalam penyebaran agama, mahdumin ini niscaya dipengaruhi oleh sufisme, yang mengajarkan unsur-unsur dasar Islam dan mendirikan masjid-masjid sederhana.
Pada akhir dasawarsa abad ke-14, ketika sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya sedang disapu bersih oleh Majapahit, banyak pangeran dan prajurit Sumatra melarikan diri ke berbagai bagian dari dunia Melayu. Berbagai tarsila (Arab: silsilah) menceritakan tentang seorang pangeran Sumatra dengan para menteri dan pengikutnya yang mendarat di Buansa di Pulau Jolo, untuk mendirikan kerajaan. Mereka dihadapi para pribumi Islam dan pecahlah pertempuran.
Laporan itu tidak jelas mengenai kemungkinan menangnya Baguinda: mereka hanya menceritakan bahwa para pemimpin setempat menyambutnya dengan baik, ketika dia mengidentifikasikan dirinya dan para pengikutnya sebagai orang Islam. Baguinda menjadi seorang raja lokal dan kawin dengan wanita Islam-pribumi.
Menurut legenda Sulu, beberapa tahun kemudian, seorang Arab mengadakan perjalanan dari Sumatra dan Kalimantan ke Buansa. Ia mengawini anak perempuan baguinda dan mendirikan kesultanan pada kira-kira tahun 1450. Maka semua sultan Sulu menyatakan sebagai keturunan dari sultan pertama itu.