Jumat 06 May 2016 13:41 WIB

Pembatasan Kuota Impor Pangan Rawan Praktik Rente Ekonomi?

Pekerja melakukan bongkar muat kedelai impor untuk bahan baku pembuatan tahu, di Jakarta, Selasa (10/11).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Pekerja melakukan bongkar muat kedelai impor untuk bahan baku pembuatan tahu, di Jakarta, Selasa (10/11).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Lembaga riset Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menilai kebijakan pemerintah dengan menerapkan sistem pembatasan melalui kuota impor terhadap produk jagung dan kedelai pakan ternak sangat rawan dengan terbentuknya praktik rente ekonomi.

"Jika disparitas harga dalam negeri dan di internasional makin lebar, peluang terjadi kartel makin kuat," kata Ketua Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Menurut Yose, pemerintah Indonesia kerap kali mengatur urusan kebijakan pangan dengan pendekatan kebijakan perdagangan, salah satunya tercermin melalui pembatasan impor. Padahal, dengan sistem pembatasan, menurut dia, sering kali memunculkan terjadinya perbedaan harga yang tinggi.

"Kita perlu melihat lagi kebijakan pembatasan tersebut, apalagi dengan adanya evaluasi 6 bulan. Rasanya itu tidak responsif terhadap keadaan," katanya.

Akibatnya, muncullah disparitas harga antara dalam dan luar negeri. "Justru inilah yang membuat menjadi tidak efektif dan rawan terhadap rente ekonomi. Di sini bisa saja muncul konsesi-konsesi dan ini pernah terjadi pada kasus sapi 2014," katanya.

Yose juga menilai pembatasan melalui sistem kuota seperti yang dilakukan terhadap beras telah membuat harga beras berisiko naik hingga 25 persen pada tahun 2020.

Apabila pembatasan impor dihilangkan, harga beras pada saat itu berpotensi turun 14,47 persen.

Tidak hanya itu, Yose menilai sentimen pemerintah pada impor juga tidak baik bagi keadaan ekonomi Indonesia. Pasalnya, pembatasan impor dalam perjanjian perdagangan internasional juga dilarang.

"Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau perjanjian lain pembatasan atau pengaturan impor memang tidak diizikan," katanya.

Pembatasan atau pengaturan oleh pemerintah, dia anggap tidak holistis dilakukan lantaran dilakukan hanya pada waktu-waktu tertentu dan tidak stabil.

"Jadi, pengaturannya ini saya lihat bermasalah," katanya.

sumber : antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement