Sabtu 07 May 2016 13:43 WIB

Ini Teori Bagaimana Pornografi Bisa Membuat Kasus Yuyun Terulang

Rep: Agus Raharjo/ Red: Teguh Firmansyah
Tagar #NyalaUntukYuyun yang sempat meramaikan Twitter terkait dengan seorang siswi SMP, Yuyun yang tewas karena diperkosa
Foto: Twitter
Tagar #NyalaUntukYuyun yang sempat meramaikan Twitter terkait dengan seorang siswi SMP, Yuyun yang tewas karena diperkosa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ahli Neuropsikologi saraf (psikologi otak), Ihshan Gumilar mengingatkan kasus pemerkosaan seperti yang menimpa Yuyun bakal terulang. Pelaku yang hanya dituntut 10 tahun penjara dinilai tidak akan jera terhadap perbuatannya. Terlebih, hukuman kurungan tidak memiliki fasilitas terapi otak pada adiksi pornografi.

Ihshan mengatakan, faktor utama terjadinya pemerkosaan ramai-ramai terhadap Yuyun akibat adiksi pornografi dari para pelaku. Hal ini efeknya sama seperti orang kecanduan narkoba yang ‘nagih terus’. Berdasarkan penelitian psikologi saraf, sistem kontrol di otak yang letaknya di belakang dahi manusia cenderung memiliki aktivasi rendah terhadap pelaku kejahatan seksual maupun narkoba.

Terlebih, rendahnya aktivasi otak ini dipermulus dengan konsumsi minuman beralkohol yang membuat daya kontrol semakin minim. Artinya, penyebab utama tindakan yang dilakukan oleh 12 pelaku pemerkosaan serta pembunuhan Yuyun bukan konsumsi minol, tapi adiksi pornografi dan rendahnya aktivasi otak pelaku.

Kalau adiksi pornografi terhadap 12 pelaku ini tidak diterapi, maka tindakan serupa berpotensi terjadi ketika mereka keluar dari penjara. “Seharusnya selain penjara, mereka diterapi otaknya, karena penjara tidak dapat mengontrol dan menghentikan aktivasi otak manusia,” tutur Ihshan usai diskusi di Jakarta, Sabtu (7/5).

Ihshan menceritakan, adiksi pornografi mirip dengan narkoba. Ketergantungan terhadap pornografi akan terus meningkat. Dalam ilmu neuropsikologi saraf, ketika pada orang normal butuh ‘dopamin’ (zat kesenangan) skala 10 untuk menstimulus dorongan seks, pada orang yang terpapar pornografi tingkat ‘dopamin’ yang dibutuhkan mencapai skala 30.

Untuk mencapai pada angka itu, orang yang terpapar pornografi harus terus membutuhkan konten pornografi untuk membuat ‘dopamin’ keluar dari otaknya. Kondisi itu membuat aktivasi otak yang berfungsi kontrol menjadi rendah. Dibutuhkan terapi untuk meningkatkan aktivasi kontrol otak pada penderita adiksi, bukan hanya pornografi tapi juga narkoba.

Baca juga, Polisi: Pemerkosa Yuyun Pantas Dihukum Berat.

Secara fisik, tidak ada perbedaan antara orang yang adiksi pornografi dengan orang normal. Hal itu hanya terlihat ketika dampaknya menjadi nyata dengan tindakan-tindakan dari pelaku. Menurut Ihshan, kecenderungan adanya tindakan berulang dapat terjadi dan sudah terbukti.

Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku kasus sodomi tidak jarang merupakan residivis dari kasus yang sama. Jadi, penjara seharusnya menjadi salah satu cara memerbaiki dengan efek jera, namun, pelaku-pelaku kejahatan seksual juga butuh terapi agar sembuh dan membuat aktivasi kontrol otak menjadi tinggi.

Menurut Ihshan, terapi adiksi dilakukan dengan konseling bersama keluarga. Sebab, peran keluarga sangat penting untuk mengantisipasi kemungkinan adanya situasi yang membuat aktivasi kontrol otak rendah. “Teorinya semakin lama terpapar pornografi, semakin lama juga waktu untuk sembuh,” tegas dia.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement