REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Perencanaan dan Kerja Sama Badan Restorasi Gambut (BRG) Budi S Wardhana menyebut sistem paludiculture yang diusung FAO berpotensi diterapkan dalam agenda restorasi. Namun, penerapannya ke depan harus didahului dengan pemetaan dan koordinasi antarkementerian dan lembaga.
"Kita akan adopsi itu (sistem palidiculture--Red), kita mencari dulu roadmap dan model budi daya di gambut basah," kata dia, Selasa (10/5).
Peta konsep akan disiapkan oleh BRG dan membuat guideline secara nasional yang ditargetkan rampung pada akhir Juni 2016. Metode restorasi, lanjut dia, harus melihat dan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar masyarakat. Dampak dari perbaikan lahan harus memperhatikan wilayah sekitarnya hingga 15 kilometer ke luar.
Menyiapkan lahan gambut untuk budi daya, misalnya, juga berdampak besar bagi kawasan di sekitar gambut hingga 15 kilometer kemudian. Lahan gambut dan kawasan sekitarnya juga tetap harus dikelola karena kebanyakan peristiwa kebakaran terjadi di lahan yang terbengkalai.
Oleh karena itu, BRG terus mendorong pemerintah pusat melakukan percepatan dalam pemetaan inventarisasi gambut per KHG. "Sembari terus menyekat kanal, kita akan segera mengeluarkan pedoman pembangunan kanal, restorasi, dan sosialisasi konsultasi di masyarakat," ujarnya.
Kegiatan restorasi gambut saat ini sedang berkonsentrasi membentuk dan menetapkan kegiatan-kegiatan dari BRG di daerah. Pembentukannya telah rampung di Riau, Sumatra Selatan (Sumsel), Jambi, dan Kalimantan Tengah. Saat ini, koordinasi pelaksanaan restorasi baru dilakukan dengan Sumsel.
Di Sumsel, BRG menyasar pada 26 kawasan hidrologis gambut (KHG). Dari jumlah tersebut, ada sejumlah lokasi yang pernah kebakaran. Oleh karena itu, mengenai peta spesifik masing-masing KHG akan berkoordinasi dengan pemerintah pusat.
"Kita juga sedang terus membangun database dari berbagai organisasi pemerintah, LSM, universitas, dan masyarakat," tuturnya. Pembangunan database berguna untuk mendapatkan satu data dari hasil penyesuaian beragam data.