Rabu 11 May 2016 21:16 WIB

Rizal Ramli: Soal Masela tak Sekadar Debat Darat-Laut

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Ilham
Blok Masela
Foto: blogspot.com
Blok Masela

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menegaskan, polemik Masela yang telah lalu bukan sekadar perdebatan panjang pemilihan lokasi pembangunan di darat atau di laut. Lebih dari itu, ia menilai bahwa polemik kemarin adalah upaya untuk mengubah paradigma pengelolaan sumber daya alam.

Rizal mengisahkan, di akhir 1960-an, pendapatan per kapita rakyat di Asia hanya 100 dolar AS per kapita. Cina bahkan lebih "miskin" lagi dengan 50 dolar AS per kapita atau hanya setengahnya. Dalam waktu 50 tahun, lanjutnya, Korea Selatan melesat ke angka 35.000 dolar AS per kapita, sedangkan rata-rata negara Asia lainnya melesat ke angka 15.000 dolar AS per kapita.

"Kita terakhir hanya 3.500 dolar AS per kapita. Lho Kok bisa? Dalam waktu 50 tahun ada negara yang terbang masuk kategori negara maju, ada negara yang masih tetap. Kayak kita lah, lumayan tapi tidak luar biasa," kata Rizal, Rabu (11/5).

Rizal menyebutkan, terdapat dua sebab utama atas fenomena yang ia uraikan di atas. Alasan pertama adalah faktor sumber daya manusia (SDM). Negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, atau Singapura memiliki masyarakat yang terdidik dengan baik sehingga ada kemauan dan kemampuan untuk mengubah bangsanya sendiri menjadi lebih maju.

Ia melihat hal inilah yang belum bisa dikejar oleh Indonesia, yakni menyediakan tenaga profesional Indonesia, bukan sebatas tenaga kerja Indonesia. "Tidak bisa lagi pendidikan terlalu umum saja. Karena kalau pendidikan umum, jaman sekarang jaman Google. Pengetahuan umum bisa didapat dari mana saja. Yang penting kemampuan analisa, kemampuan sintesa, kemampuan inovasi, dan modifikasi," katanya.

Sedangkan untuk alasan kedua, Rizal menyebutkan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Ia menilai bahwa sebagai negara yang sangat kaya akan SDA, Indonesia seharusnya bisa melesat lebih jauh dari negara-negara maju di ASEAN saat ini. Sayangnya, paradigma pengelolaan SDA Indonesia hanya sebatas "tebang ekspor". Artinya, Indonesia belum menyiapkan industri turunan dari SDA mentah sehingga ada nilai tambah yang dihasilkan.

"Sedot tanah di Papua, ekspor. Tidak dibangun industri downsteam, smelter, dan sebagainya. Sehingga nilai tambahnya enggak ada. Dan di gas juga, sedot terus ekspor. Jadi sebetulnya, ini bukan soal darat laut. Cetek banget. Tetapi perubahan paradigma pengelolaan SDA. Dari sekadar sedot ekspor, menjadi kita kembangkan integrated industry yang punya nilai tambah," katanya.

Rizal melanjutkan, dengan contoh soal Polemik Masela. Ia menghitung, apabila hanya menggunakan paradigma lama yaknik ekspor-impor maka pendapatan yang didapat hanya 2,5 miliar dolar AS. Sementara kalau dibangun industri turunan seperti pupuk dan petrokimia maka bisa didapat 6,5 miliar dolar AS. Selain itum industri tak langsung seperti misalnya dibangunnya perhotelan, adanya kegiatan ekonomi baru bisa menyedot pendapatan negara lebih banyak lagi.

"Bahkan dari analisa yang murni ekonomi, pilihannya sederhana. Jalan cepat, sedot ekspor. Jalan agak ribet sedikit, kita bangun integrated industry, kita kembangkan nilainya itu hampir 8 miliar dolar AS," ujar Rizal.

Ia juga menceritakan pengalamnnya saat berkunjung ke Kuala Trengganu di Malaysia. Rizal mengaku malu saat datang ke kota tersebut karena Kuala Trengganu sudah dibangun industri petrokimia. Padahal, di era 1970-an warga Malaysia rela belajar ke ITB atau UI di Indonesia untuk menimba ilmu. Ia mengakui bahwa Malaysia sangat bisa belajar dari Indonesia saat itu dan berhasil membangun Petronas.  

"Industri petrokimia berkembang pesat, padahal ironinya gas yang dipakai Malaysia itu 40 persen dari kita. Kemudian diubah jadi produk petrokimia. Nah, dia ubah terus dia ekspor lagi barangnya ke Indonesia. Kita impor produk petrokimia sampai sekitar 12-14 miliar dolar ASm," ujarnya.

Belajar dari semua itu, Rizal menilai bahwa polemik masela yang telah lalu bukan sekadar apakah akan dibangun di darat atau di laut, namun lebih kepada perubahan paradigma pengelolaan SDA.

"Dan presiden sejak awal pikirannya demikian. Dia pernah hidup susah jadi buruh di pabrik craft di Lhokseumawe. Dia lihat pabrik LNG, orang asing saja boleh masuk orang Indo enggak bisa. Dia katakan dari awal, mas Rizal ini enclave (kawasan terkurung) ini. Jadi jangan dibikin ini enclave. Saya lihat juga secara pembangunan wilayah, kelihatan itu enclave," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement