REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat Hukum dan Politik Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah menilai wacana hukum kebiri kepada pelaku pencabulan tidak tepat.
"Menurut saya, pemerkosaan atau bentuk pelecehan seksual lainnya adalah soal 'cognitive bahavior' atau cara pandang, bukan semata-mata karena aktivitas biologis. Jadi, tidak tepat jika tubuh yang dihukum," ujar Herdiansyah Hamzah di Samarinda, Rabu.
Menurutnya, usulan hukuman kebiri tersebut merupakan pernyataan emosional kolektif yang kebetulan ikut didukung pemerintah.
"Padahal, masih perlu kajian yang lebih mendalam, termasuk pertimbangan biaya yang tentu akan mahal," katanya.
Hukuman kebiri, lanjut alumnus Pascasarjana Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada itu, dikhawatirkan akan berdampak terhadap mental dan kejiwaan baik yang dikebiri atau pelaku pencabulan maupun lingkungan sekitarnya.
"Secara teknis ini juga soal waktu, kapan hukuman kebiri itu dilakukan. Apakah setelah putusan inkracht. Itu membutuhkan waktu yang panjang sementara semakin lama eksekusi, akan semakin terusik rasa keadilan bagi korban," tutur dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda tersebut.
Menurut dia, kekerasan seksual terjadi karena cara pandang yang selalu menempatkan perempuan sebagai objek seksual.
"Untuk itu, solusi hukuman juga harus mampu membangun cara pandang masyarakat akan pentingngya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan," ujar pengamat yang akrab disapa Castro tersebut.
Ia berpendapat hukuman yang tepat bagi pelaku pencabulan adalah dengan menambah hukuman maksimal dari 15 tahun menjadi 20 tahun atau seumur hidup, ditambah hukuman dalam bentuk rehabilitasi bagi pelaku, khususnya yang masih anak-anak atau di bawah umur.
"Selain itu, penting untuk memfokuskan upaya pemulihan psikis bagi korban secara konkret," kata Herdiansyah Hamzah.