REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan memastikan, sebanyak 272 nama orang Indonesia yang tercantum dalam Dokumen Panama atau Panama Papers telah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
"Dari identifikasi data Panama hingga 12 Mei, nama yang telah diidentifikasi mempunyai NPWP sebanyak 272," kata Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (12/5).
Ken menjelaskan, dari 272 nama tersebut, wajib pajak yang sudah melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) adalah sebanyak 225 nama. Ia menambahkan, pihaknya sedang melusuri apakah pelaporan special purpose vehicle (SPV) telah masuk dalam SPT tersebut atau tidak.
Ken mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak juga menelusuri 137 wajib pajak yang telah mendapatkan surat ketetapan pajak (SKP) atau surat tagihan pajak (STP) terkait nama orang Indonesia yang tercantum dalam Panama Papers. Selain itu, kata Ken, para wajib pajak yang telah mendapatkan imbauan melalui surat, karena penelusuran Panama Papers, mencapai 78 nama.
Secara keseluruhan, Ditjen Pajak sedang menelusuri nama-nama orang Indonesia dalam Panama Papers yang totalnya mencapai 1.038 wajib pajak, terdiri atas 28 perusahaan dan 1.010 orang pribadi. "Dari 1.038, sudah 800 yang telah dilakukan identifikasi. Ini kita lakukan crosscheck karena banyak alamat yang tidak jelas atau menggunakan nama istrinya. Padahal, subjek dan objek pemungutan pajak harus jelas," tutur Ken.
Ken mengatakan, pihaknya akan terus menelusuri nama-nama tersebut, bahkan kemungkinan juga melakukan kajian di luar Panama Papers. Sebab, menurut data yang diperoleh dari sesama anggota G-20, terdapat 6.500 orang Indonesia yang belum melaporkan asetnya kepada otoritas pajak.
"Kita inginnya ada kepatuhan dari nama-nama yang ada. Jadi, kalau tidak ada titik temu setelah dilakukan imbauan, kita akan masuk ke pemeriksaan, bahkan ke penyidikan," ucap Ken, menegaskan.
Ken mengingatkan bahwa nama-nama tersebut belum tentu berstatus penunggak pajak karena bisa jadi terjadi kekhilafan atau ketidaksengajaan dari wajib pajak sehingga belum melakukan kewajiban perpajakan. "Ini masalah kekhilafan, karena kepatuhan pajak itu variabelnya banyak. Tergantung dari pemahaman masyarakat terhadap UU, kepercayaan terhadap DJP, kemudahan mengisi SPT, dan kesadaran atas pentingnya pajak," ujarnya.