REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bila tidak ada aral melintang, Musyawarah Luar Biasa Partai Golkar dibuka pada Sabtu (14/5) malam. Hasil munaslub ini akan menentukan arah partai berlambang pohon beringin itu menjelang Pemilu 2019.
Dalam beberapa waktu terakhir, pasca-Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014, partai tersebut larut dalam pertentangan internal yang membuat mesin politik mereka tidak bisa bekerja secara efektif.
Pertentangan antarkubu dalam partai itu membuat Golkar banyak kehilangan kesempatan politik, baik dalam pemerintahan pusat maupun di daerah melalui pilkada serentak lalu.
Perbedaan pendapat dan pandangan antarakubu, Aburizal Bakrie dengan Agung Laksono, yang terjadi beberapa waktu lalu tidak hanya berputar di elite partai tingkat nasional, tetapi juga merembet hingga ke daerah.
Pemerintah dalam berbagai kesempatan terus mencoba untuk meredakan ketegangan di salah satu partai yang paling berpengaruh di Indonesia. Tidak kurang dari Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang juga pernah menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar ikut dalam upaya meredakan ketegangan itu.
Banyak kalangan yang menyayangkan perseteruan antarfaksi di tubuh partai yang dalam kurun waktu 1971 hingga 1996 mendominasi peta politik nasional dengan memenangi setiap pemilu yang berlangsung pada masa itu.
Sebagai salah satu partai kuat sejak masa Orde Baru, kader-kader beringin dari setiap dekade mewarnai pergerakan politik nasional. Bahkan, hingga saat ini, mereka yang tumbuh dan menimba ilmu politik di Partai Golkar menjadi tokoh di sejumlah partai politik lain yang kini tumbuh dengan subur di Tanah Air setelah reformasi 1998.
Setelah konflik antara pengurus versi Munas Ancol dan Munas Bali, kemudian dicapailah kesepakatan penyelenggaraan munaslub di Bali pada pertengahan Mei 2016. Dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa itu akan dipilih ketua umum yang akan memimpin Golkar menghadapi pemilu dan Pilpres 2019.