REPUBLIKA.CO.ID, SAMPIT -- Penyalahgunaan lem oleh anak-anak di Sampit Ibu Kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah makin marak dan memprihatinkan.
"Saya menemui bocah kelas dua SD sampai tertidur sambil menghirup lem. Ini sudah sangat memprihatinkan," kata Saidi, salah satu ketua Rukun Tetangga di Kecamatan Baamang, Sabtu (14/5).
Bau lem yang sangat menyengat memang bisa menimbulkan efek seperti memabukkan jika dihirup secara berlebihan. Inilah yang banyak dilakukan anak-anak karena salah pergaulan, padahal tindakan ini diyakini berdampak buruk terhadap kesehatan fisik dan mental.
Harga lem yang cukup terjangkau dan dijual bebas, membuat penyalahgunaannya oleh anak-anak makin marak. Apalagi, kepolisian juga tidak bisa membawa ke jalur hukum untuk pembinaan karena lem bukan barang yang terlarang dijual bebas.
"Katanya tidak ada dasar hukumnya, tapi ini harus ada solusinya. Kami tetap berharap kepolisian bisa mengatasi ini. Kalau bukan polisi, siapa lagi yang bisa membantu. Ini sudah meresahkan masyarakat," kata Saidi.
Carlos, ketua RT lainnya mengeluhkan maraknya peredaran minuman keras. Parahnya, sanksi yang diberikan kepada pelaku hanya dikenakan sanksi tindak pidana ringan.
"Kalau cuma tipiring, itu tidak menimbulkan efek jera. Pelaku akan kembali memproduksi dan berjualan minuman keras, padahal dampaknya sangat negatif terhadap masyarakat kita," ucap Carlos.
Kepala Unit III Tipikor Polres Kotawaringin Timur, Ipda Nana Rusyana, mengakui maraknya penyalahgunaan lem oleh anak-anak. Ini juga menjadi perhatian pihaknya untuk mencegahnya agar tidak bertambah parah.
"Penyalahgunaan lem memang belum ada aturannya karena itu disalahgunakan. Jadi ini harus diatasi bersama dengan orangtua. Tapi kami tetap berpatroli untuk mencegah. Kalau ada maka kita bina dan panggil orangtuanya," kata Rusyana.
Terkait rendahnya sanksi terhadap penjual minuman keras, Rusyana menegaskan kepolisian mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 2/2011 tentang pengendalian peredaran minuman keras. Dalam peraturan daerah tersebut, ancaman sanksinya memang berupa sanksi tindak pidana ringan. Kecuali jika ada pabrik minuman keras ilegal, maka baru bisa dijerat dengan masalah perizinan dan Undang-Undang tentang Kesehatan.