REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setahun sudah atau tepatnya 15 Mei 2015 lalu, sekitar 1.200 orang etnis Rohingya berlabuh di pesisir pantai Aceh. Sebelumnya, mereka terkatung-katung di lautan yang ganas. Mereka mencari suaka, menyelamatkan diri dari pembantaian etnis mereka di Myanmar.
Di awal kedatangan, keadaan fisik dan juga psikis para pengungsi Rohingya sangat mengkhawatirkan. Mereka kelaparan, tak terurus, sakit-sakitan, dan mengalami stres berat. Kini, sudah setahun mereka mengungsi di Indonesia. Sejak awal kedatangan, pemerintah dan berbagai lembaga kemanusiaan menggulirkan berbagai program kemanusiaan untuk para pengungsi.
Berbagai lembaga kemanusiaan di Indonesia telah memberikan respons atas masalah pengungsi rohingya ini. Di antaranya adalah Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, dan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU). Ketiga lembaga yang juga adalah anggota Southeast Asia Humanitarian (SEAHUM) ini sejak setahun yang lalu telah berkolaborasi menangani pengungsi Rohingya dari berbagai aspek. Bahkan beberapa lembaga telah membantu Rohingya sejak krisis kemanusiaan ini terjadi pada tahun 2012 di Myamar.
Dompet Dhuafa dalam penanganan pengungsi Rohingya fokus pada isu kesehatan dan pendidikan. “Konsen kami di antaranya pada program kesehatan dan pendidikan. Untuk kesehatan, kami adakan promosi kesehatan yang dilakukan setiap hari Jumat bagi semua pengungsi di kamp pengungsian Kota Langsa dan Aceh Timur.
Sementara di program pendidikan untuk pengungsi, Dompet Dhuafa menggulirkan School for Refugess (SFR). Melalui program tersebut, Dompet Dhuafa melakukan pendampingan pendidikan bagi anak-anak pengungsi usia 5-12 tahun dan 12-18 tahun,” ujar Presiden Direktur Dompet Dhuafa Ahmad Juwaini dalam konferensi pers "Setahun Pengungsi Rohingya di Indonesia", Ahad (15/5) di Jakarta.
Nur Efendi, CEO Rumah Zakat memaparkan bahwa dalam program penanganan pengungsi Rohingya Rumah Zakat konsen pada program penyaluran air bersih (sanitasi), bahan makanan, dan shelter. “Hal ini dibutuhkan karena sebelum pengungsi tiba mereka telah lama terkatung-katung dalam kondisi kesehatan fisik dan psikologis yang memprihatinkan.. Oleh karena itu penting bagi kita untuk memastikan lokasi pengungsian representatif bagi mereka,” terang Nur Efendi.
Direktur Program PKPU, Tomy Hendrajati menuturkan, PKPU menyoroti Rohingya sejak etnis tersebut mulai diintimidasi pada 2012 di Myanmar. “Kami menurunkan tim 2 dan membawa beberapa bantuan kemanusiaan ke sana waktu itu, termasuk membangun Learning Center,” ujarnya.
Kolaborasi aksi Presiden Southeast Asia Humanitarian (SEAHUM), Imam Rulyawan mengatakan, dalam menangani pengungsi Rohingya di Indonesia diperlukan aliansi dan kolaborasi pemerintah, lembaga kemanusiaan, dan seluruh komponen masyarakat.
“Kita harus mendorong semua lembaga kemanusiaan dan pemerintah untuk bersama-sama menjadikan ini kerja kolektif,” ungkap Imam.
Imam menekankan, program ke depan yang amat diperlukan adalah advokasi kebijakan penanganan di tingkat daerah dan pusat. Dengan begitu, nasib pengungsi Rohingya di Indonesia mendapatkan kejelasan. “Bagaimanapun, penanganan terhadap pengungsi Rohingya ini menjadi preseden negara kita di mata dunia,” ujarnya.