REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain menuntut hukuman 9 tahun penjara dan denda Rp 300 juta Subsideir 6 bulan kurungan, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menuntut hak dipilih dan memilih anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo dicabut.
"Meminta agar terdakwa satu (Dewie Yasin Limpo) dilakukan pencabutan hak memilih dan dipilihnya sebagai pejabat publik, selama tiga tahun lebih lama dari pidana pokoknya," kata Jaksa Kiki Ahmad Yani di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta, Senin (16/5).
Tuntutan yang dijatuhkan jaksa kepada Dewie dan dan staf ahlinya, Bambang Wahyuhadi, dijatuhkan berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan yang meringankan menurut jaksa adalah karena keduanya bersikap sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum sebelumnya.
Adapun hal-hal yang memberatkan adalah karena keduanya tidak mengakui dan tidak menyesali peebuatan tersebut. Khusus bagi Dewie Yasin Limpo, perbuatannya telah membawa citra buruk bagi DPR, serta tidak mampu memberikan contoh yang baik, padahal dirinya adalah penyelenggara negara.
"Perbuatannya membawa citra buruk bagi DPR dan tidak mampu memberi contoh yang baik kepada masyarakat," ucap Jaksa.
Dewie dan Bambang dinyatakan terbukti menerima suap sebesar 177.700 dolar Singapura (sekitar Rp 1,7 miliar) dari Kepala Dinas ESDM Kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii dan seorang pengusaha, Setiady Jusuf kepada Dewie Yasin Limpo.
Uang suap yang diterima Dewi dimaksudkan agar dirinya bersedia mengawal anggaran dari pemerintah pusat terkait rencana pembangunan Pembangkit Listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.