REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarahnya, Partai Golkar tidak pernah dipimpin sosok yang tidak sedang menduduki jabatan tinggi negara. Kedudukan seorang tokoh pun dianggap sebagai salah satu alasan para pemilik suara di Munaslub Partai Golkar dalam memberikan dukungannya.
Peneliti Centre for Indonesia Political dan Social Studies (CIPSS), Mohammad Hailuki, menyebutkan, hampir setiap Ketua Umum Partai Golkar pasti juga menjadi pejabat tinggi negara. Misalnya, Harmoko yang juga merangkap jabatan sebagai Menteri Penerangan.
Kemudian Jusuf Kalla yang terpilih sebagai Ketua Umum, yang juga menjabat Wakil Presiden pada 2004 silam. Pun dengan Aburizal Bakrie, yang pernah menjabat sebagai Menko Kesra sekaligus sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Kondisi ini, menurut Hailuki, juga akan terjadi di Munaslub Golkar kali ini. Kedudukan dan jabatan tinggi yang dipegang oleh salah satu caketum dapat menjadi magnet atau alasan para DPD untuk memilih calon tersebut.
''Itu bisa mempengaruhi, khususnya DPD-DPD di Golkar untuk memilih pemimpinnya. Mereka cenderung seperti itu. Jadi bukan hanya dipengaruhi kekuatan modal, tapi ada juga pengaruh soal kedudukan politik,'' ujar Hailkui saat dihubungi Republika.co.id, Senin (16/5).
Sementara terkait adanya dugaan intervensi dari pemerintah terhadap hasil Munaslub Partai Golkar, terutama soal Ketua Umum Partai Golkar yang baru, Hailuki menilai, upaya itu bisa saja terjadi dan sangat masuk akal. Pemerintah pun dinilai memiliki kepentingan agar Partai Golkar bisa bergabung ke partai pendukung pemerintah.
Terlebih, jika melihat mesin politik yang dimiliki partai berlambang pohon beringin itu. ''Mesin politik Partai Golkar bisa dibilang sudah mapan. Bahkan, kader-kadernya ada hingga pelosok-pelosok desa. Ini tidak terlepas dari keberadaan Partai Golkar sebagai penyokong kekuasaan pada masa Orde Baru silam,'' tuturnya.