REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengatakan, nama yang disebut dalam Panama Papers, ICIJ Offshore Leaks, dan sejenisnya tidak sebanyak laporan transaksi keuangan mencurigakan yang diverifikasi lembaganya. Pada 2015, jumlahnya bahkan mencapai lebih dari 56 ribu laporan.
"Sejauh ini pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap data yang dimiliki baru pada tahap mencurigakan. Kami punya data yang bisa disandingkan, ada Panama Papers, Offshore Leak Papers, ada PPATK Papers," ujar Yusuf pada temu wicara ETF Fellowships Gathering bertajuk "Panama Papers: Pemahaman, Pemberitaan, dan Hak Asasi", di Jakarta, Selasa.
Pihaknya lebih mengkhawatirkan masih terdapatnya celah dalam skema bisnis akibat lemahnya pengawasan, yang berpotensi digunakan untuk melakukan kejahatan," kata Muhammad Yusuf.
Ia mengingatkan tidak semua nama yang ada dalam bocoran serta merta bersalah. Selama ini, PPATK sudah memberikan temuan-temuan itu kepada penegak hukum. Namun, penegak hukum dengan berbagai alasan dan memang keadaan seperti itu, misalnya sulit mencari alat bukti, maka proses penindaklanjutannya agak lamban, bahkan ada yang sampai sekarang belum ada kemajuan.
"Oleh karena itu, kami usulkan kepada presiden untuk menerbitkan inpres. Kami telah menyiapkan draf, sudah bersih, tinggal mendapat paraf secepatnya agar bisa diserahkan ke istana," katanya.
Ia mengatakan, dengan inpres, maka saat penegak hukum menindaklanjuti temuan PPTK, yakni meminta keterangan pihak-pihak terkait dan kemudian menyatakan tidak cukup bukti, penegak hukum wajib menyampaikan resumenya ke PPATK. "Penegak hukum tiba pada kesimpulan tidak cukup bukti, saya harap resumenya dikirim ke PPATK, atau Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pungut pajaknya," tambahnya.
Potensi dari para pengemplang pajak, baik perusahaan maupun pribadi, mencapai Rp 30 triliun hingga Rp 40 triliun. "Tetapi yang baru bisa kita tarik ke kas negara antara Rp 3 triliun hingga Rp 4 triliun," tambahnya.