REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta waspada terhadap ancaman instabilitas harga ketika berencana menghapus raskin pada 2017. Jangan sampai mengulangi kejadian awal 2015, di mana terjadi isu penggantian raskin dengan e-money, disusul kejadian penyaluran raskin terlambat 2,5 bulan lantas berdampak pada gejolak harga pangan yang meluas.
"Harus benar-benar disiapkan, jangan sampai perubahan ini membuat orang terkaget-kaget," kata Pengamat Kebijakan Pertanian Bustanul Arifin dalam diskusi Bincang-Bincang Agraria (BBA), Rabu (18/5).
Raskin, lanjut dia, tidak berkontribusi pada pengurangan kemiskinan. Bahkan, angkanya meningkat meski ada raskin. Terjadi pula penyimpangan-penyimpangan yang seharusnya dibenahi bahkan jika perlu diubah ke sistem yang lebih baik.
Meski begitu Raskin tetap memiliki keunggulan yakni berkontribusi pada stabilisasi harga pangan. "Lima juta runah tangga miskin yang biasanya tidak ke pasar untuk membeli beras karena ada raskin, kemudian penyalurannya dihentikan, maka otomatis harga pangan akan naik," ujarnya. Maka jika ada rencana penghapusan raskin, seharusnya pengawalannya teliti, dikawal dan dievaluasi.
Menanggapi rencana pemberian Voucher Pangan oleh Pemerintah di 2017, Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah Syafi'i Latuconsina mengaku bingung akan pelaksanaannya. Sebab, ia khawatir akan terjadi kegagalan dan pemberian bantuan salah sasaran jika tidak didasarkan dengan data-data yang valid.
"Masalah ketersediaan pangan tidak bisa dijawab dengan sekadar voucher pangan," katanya. Di antara contoh yang paling fatal, lanjut dia, yakni pernyataan survei Sosial ekonomi Nasional.
Dalam survei ditampilkan perbedaan data kebutuhan beras per kapita menurut BPS yakni 87,63 kilogram per tahun, atau 240 gram per hari. Tapi data Kementerian Pertanian berbeda yakni 124 kg per kapita per tahun atau 340 gram per hari. Maka dari itulah, kehati-hatian perlu diterapkan dan pemerintah harus mempertimbangkan segala masukan dari masyarakat kecil.