REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Golkar akhirnya memutuskan keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP), yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada Pemilihan Presiden 2014 silam. Keputusan ini merupakan salah satu hasil dari Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar, yang dilaksanakan di Nusa Dua, Bali, akhir pekan lalu.
Pengamat politik dari Indo Barometer, M Qodari, menilai, keluarnya Partai Golkar dari KMP akan mempengaruhi kekuatan politik KMP, yang selama ini dianggap berperan sebagai kekuatan oposisi terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Kendati begitu, di sisi lain, kata Qodari, keluarnya Golkar dari KMP justru akan menguntungkan posisi Gerindra sebagai kekuatan oposisi terhadap pemerintah.
''Sikap politik Gerindra akan semakin kelihatan. Jadi dia (Gerindra) bisa betul-betul menjadi oposisi yang nyata. Kalau pemerintahan ini dianggap gagal, maka Gerindra yang akan diuntungkan, karena dia terlihat beda sendiri dibanding yang lain,'' ujar Qodari saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (18/5).
Qodari menambahkan, posisi politik Gerindra akan semakin kuat jika nantinya muncul ketidakpuasan terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Keuntungan yang akan didapatkan Gerindra, kata Qodari, dapat bersifat jangka panjang, atau dalam periode pemilihan umum berikutnya.
''Jadi kalau ada orang atau masyarakat yang tidak puas dengan pemerintahan Jokowi-JK, itu nanti pilihannya mungkin cuma satu, ya bisa Gerindra,'' tutur Direktur Eksekutif Indo Barometer tersebut.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, mengaku tidak kaget dengan keputusan Partai Golkar yang keluar dari KMP. Menurutnya, keputusan Partai Golkar itu tidak akan membuat KMP kehilangan apapun. Bahkan, Fadli mengakui, dengan berkurangnya satu partai di luar pemerintah, maka posisi Gerindra sebagai oposisi semakin kuat.
''Kami justru merasa ramai dengan semakin banyak rakyat yang mendukung kami. Saya kira ini jalan bagi Gerindra untuk menang Pemilu 2019,'' ujar Fadli.