REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS -- Jumlah penderita talasemia mayor di Tanah Air terus mengalami peningkatan. Ketua Yayasan Thalassemia Indonesia, Ruswadi, menyebut jumlah penderita talasemia mayor yang ditandai dengan kebutuhan transfusi darah secara rutin saat ini sudah mencapai 7.238 penderita.
''Ini baru jumlah yang bisa kita data dari rumah sakit-rumah sakit yang ada di Indonesia. Di luar yang belum terdata, mungkin jumlahnya lebih besar,'' jelas Ruswadi saat menghadiri peresmian Gedung Thalassemia Terpadu di RSUD Banyumas, Kamis (19/5). Peresmian gedung dilakukan oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, dengan didampingi Bupati Banyumas Achmad Husein.
Jumlah penderita sebanyak itu, menurut dia, tersebar di berbagai daerah di Tanah Air. Jumlah terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat karena jumlah penderita talasemia di provinsi tersebut mencapai 42 persen dari seluruh penderita. ''Hampir di semua kota wilayah provinsi tersebut terdapat penderita talasemia,'' katanya.
Jumlah terbanyak kedua berada di Provinsi Jawa Tengah, yang tercatat ada sekitar 1.000 penderita. Kemudian di Jawa Timur. ''Khusus di wilayah Banyumas dan sekitarnya, ada sekitar 371 penderita talasemia mayor yang rutin berobat ke RSUD Banyumas sebagai RS rujukan penderita thalasemia,'' katanya.
Berdasarkan data tersebut, Ruswadi menyebutkan upaya pencegahan agar jumlah penderita thalasemia tidak terus bertambah. Salah satunya dengan mengintensifkan kegiatan sosialisasi mengenai pencegahan perkawinan antarpria-wanita yang genetisnya sama-sama membawa sifat (carrier) talasemia.
''Penyakit talasemia mayor merupakan penyakit yang diturunkan dari kedua orang tua yang sama-sama membawa sifat genetis talasemia. Bila keduanya menikah kemudian memiliki keturunan, bisa dipastikan ada anaknya yang akan menderita talasemia,'' jelasnya.
Ruswadi menjelaskan, penyakit talasemia terbagi ke dalam dua jenis, yakni talasemia mayor dan talasemia minor. ''Kalau penderita talasemia minor, tidak memiliki gejala penyakit apa-apa. Ini yang dalam istilah medis sebagai orang yang membawa sifat. Sedangkan, penderita talasemia mayor adalah penderita yang gejalanya penyakitnya terlihat,'' katanya.
Penderita talasemia mayor ditandai dengan munculnya gejala anemia, mudah lelah, lesu, dan mudah terserang penyakit. Selain itu, organ dalam tubuh ditandai dengan pembesaran hati dan limpa. ''Satu-satunya cara mengatasi gelajanya hanya dengan melakukan transfusi darah. Sebagai penyakit keturunan, penyakit ini tidak bisa diobati,'' jelasnya.
Namun, dia menyebutkan, transfusi yang terus-menerus juga sering menyebabkan komplikasi pada jantung, limpa, hati, dan otak karena zat besi akan menumpuk dalam tubuh penderita. ''Namun, saat ini ada obat yang bisa digunakan untuk mengatasi menimbunnya zat besi,'' jelasnya.
Dengan gejala penyakit yang demikian berat, Ruswadi menyatakan, cara yang bisa dilakukan adalah dengan mencegah agar jumlah penderita talasemia tidak terus bertambah. Satu-satunya cara adalah dengan mencegah pernikahan antarpenderita talasemia minor atau pembawa sifat talasemia.
Untuk mengetahui seseorang menderita talasemia minor bisa dilakukan melalui tes darah, yakni dengan melakukan analisis sel darah merah Hb (Hemoglobin). ''Untuk itu, seseorang yang hendak menikah sebaiknya melakukan tes darah lebih dulu. Bila kedua calon mempelai menderita talasemia, sebaiknya rencana pernikahan dipertimbangkan kembali,'' katanya.
Ruswadi menyebutkan, biaya yang dibutuhkan untuk meringankan gejala penyakit talasemia saat ini sangat besar. Paling tidak, seorang penderita talasemia mayor membutuhkan biaya minimal Rp 10 juta per bulan. Biaya sebesar itu digunakan untuk kebutuhan transfusi darah dan kebutuhan medis lain. ''Itu hanya untuk meringankan gejalanya, bukan untuk mengobati penyakitnya,'' jelasnya.
Meski demikian, dia juga menyebut, dengan berbagai kemajuan teknologi kedokteran, saat ini usia rata-rata penderita talasemia sudah semakin panjang. ''Saat ini usia rata-rata penderita talasemia di Indonesia sudah mencapai 45 tahun. Hampir sama dengan di negara maju,'' katanya.