REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Syuro Ikatan Dakwah Indonesia (Ikadi) Hidayat Nur Wahid mengatakan penilitian Maarif Institute yang menyebut kota yang menerapkan regulasi syariah tidak dijamin islami harus dijelaskan dengan lebih detil. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahpahaman.
"Terutama definisi dari terminologi Islami harus disepakati terlebih dahulu agar tidak menjadi perdebatan," ujar Hidayat kepada Republika, Kamis (19/5).
Menurut Hidayat kriteria yang ditetapkan Maarif Institute terkait kota islami belum bisa diterima tanpa memasukkan tolak ukur keislaman itu sendiri. Jika menggunakan istilah islami, maka definisi islami harus merujuk pada parameter islam.
Contoh, di kota tersebut tidak ada perjudian, perzinahan, peredaran minuman keras dan obat terlarang. Tindakan ini nyata dilarang dalam Islam. Kalau hal ini dijadikan tolok ukur, kata Hidayat, maka hasilnya akan berbeda.
"Bahwa satu kota itu aman, sejahtera dan bahagia dibanding kota lain itu bisa saja. Tetapi, apakah itu yang islam dan islami? Ini masih menjadi perdebatan apalagi ketika dihadapkan dengan perda syariah," kata Hidayat.
Lagipula, dia menambahkan, regulasi syariah yang diberlakukan saat ini di beberapa kota memang belum bisa menjadi tolak ukur karena masih bersifat parsial dan belum menyeluruh. Kendati demikian, Hidayat mengapresiasi adanya penelitian ini dengan tujuan agar kota menjadi lebih baik.
Menurut pandangan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dede Rosyada, ukuran islami sebuah kota bukanlah pada ukuran regulasi semata tetapi pada ukuran empirik dan kultur. "Di beberapa kota di Eropa meski mayoritas bukan Muslim tetapi kultur masyarakatnya lebih islami," kata Dede.
Baca juga, Penelitian Ungkap Tiga Kota Paling Islami di Indonesia.