REPUBLIKA.CO.ID, KATHMANDU -- Para perempuan Muslim di Nepal tidak mendapatkan akses pendidikan yang memadai. Hanya 26 persen wanita Muslim di Nepal yang melek aksara. Angka ini lebih kecil dibanding rata-rata nasional keberaksaraan untuk perempuan di negara itu, yakni sebesar 55 persen.
Mantan Ketua Masjid Jami Nepalgunj, Abdul Rahman, mengatakan, kesenjangan ini salah satunya lantaran ada ketidaksesuaian antara beberapa nilai Islam dengan sistem sekolah umum. Hanya 12 persen anak perempuan Muslim di Nepal yang menamatkan sekolah menengah.
"Gadis-gadis Muslim yang mengenakan purdah menarik perhatian. Anak-anak melihat seolah-olah mereka alien. Ini penyiksaan mental," ujar Rahman, dilansir dari Aljazirah, Ahad (22/5). Menurut Sensus 2011, ada kurang dari 5.000 lulusan dan mahasiswa pascasarjana Muslim.
Lelaki 52 tahun itu menilai pemerintah harus memberikan paket khusus berupa beasiswa atau bantuan kepada Muslim untuk pendidikan mereka. Atau, memberi kebebasan untuk mendidik anak-anak Muslim sesuai nilai Islam. Di negara ini, populasi Muslim berkisar 5 persen dari 30 juta jiwa.
Pemerintah pascarevolusioner telah mengakui keprihatinan masyarakat dan mengidentifikasi madrasah sebagai alat untuk meningkatkan akses pendidikan di kalangan umat Islam. Dewan madrasah dibentuk pada 2007 dan untuk pertama kalinya, program juga tersedia dalam bahasa Urdu, yang dituturkan oleh sebagian besar Muslim negara itu.
Pemerintah menjanjikan bantuan keuangan untuk madrasah-madrasah terdaftar, yang mengajarkan sains, matematika, bahasa Inggris, dan bahasa Nepal. Bahasa yang dipakai kelompok etnis lain juga diakui, tidak hanya bahasa Nepal.
Tapi, hampir satu dekade berlalu setelah kebijakan itu diumumkan, lebih dari setengah dari 2.000 madrasah di Nepal belum terdaftar. Orang-orang mengeluhkan bantuan tidak memadai. Kepala Sekolah Madrasah Aisha Banat, Talat Parveen (28) percaya kemiskinan menghentikan langkah banyak negara Muslim untuk mengejar pendidikan lebih tinggi.
"Purdah tidak menghentikan Anda dari apapun," kata perempuan yang meraih gelar master sastra Inggris ini. Seorang pekerja sosial, Abdul Qawi (36) menambahkan, program khusus berupa pendidikan gratis dan beasiswa diperlukan untuk mengangkat umat dari kemiskinan.