Oleh Hafidz Muftisanny
REPUBLIKA.CO.ID, Pemerkosaan adalah perbuatan nista yang merugikan perempuan. Tak jarang, pemerkosaan juga membuat sang korban harus mengandung janin yang tak diinginkannya. Korban yang sudah menanggung beban psikis dan fisik akibat pemerkosaan harus menanggung pula anak yang tak diharapkannya.
Lalu, bagi wanita korban pemerkosaan yang hamil, apakah dibolehkan menggugurkan kandungannya? Syekh Yusuf Qaradhawi pernah ditanya hal yang sama. Sebelum menguraikan hukum menggugurkan kandungan korban pemerkosaan, Syekh Qaradhawi menguraikan jika sang korban tidak mendapatkan dosa akibat tindak perzinaan yang dilakukan pelaku.
Perbuatan yang dilakukan dalam keterpaksaan bahkan dengan ancaman senjata tidak bisa dijatuhi hukum. Syekh Qaradhawi menerangkan, orang yang terpaksa kafir yang dosanya lebih besar dari zina pun dimaafkan.
Allah SWT berfirman, "... kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)." (QS an-Nahl [16]: 106).
Bahkan, papar Syekh Qaradhwi, Alquran mengampuni dosa orang yang dalam keadaan darurat, meskipun ia masih mempunyai sisa kemampuan lahiriah untuk berusaha, hanya saja tekanan kedaruratannya lebih kuat. Seperti, memakan makanan yang diharamkan karena darurat. Allah berfirman, "... tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS al-Baqarah [2]: 173).
Masuk ke pembahasan aborsi bagi korban pemerkosaan, Syekh Qaradhawi tetap menghukumi terlarang. Ia beralasan, semenjak bertemunya sel sperma laki-laki dan sel telur perempuan yang dari keduanya muncul makhluk yang baru dan menetap di dalam rahim maka haram diaborsi.
Janin dalam kandungan seorang wanita korban pemerkosaan tetap harus dihormati. Rasulullah SAW pernah memerintahkan wanita Ghamidiyah yang mengaku telah berbuat zina dan akan dijatuhi hukuman rajam itu agar menunggu sampai melahirkan anaknya. Kemudian, setelah itu ia disuruh menunggu sampai anaknya sudah tidak menyusu lagi, baru setelah itu dijatuhi hukuman rajam.
Maka, bagi wanita yang mendapatkan cobaan dengan musibah seperti ini, Syekh Qaradhawi mengimbau agar tetap memelihara janin tersebut. Sebab, menurut syara', ia tidak menanggung dosa. Dengan demikian, apabila janin tersebut tetap dalam kandungannya selama kehamilan hingga dilahirkan maka dia adalah anak Muslim, sebagaimana sabda Nabi SAW, "Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah." (HR Bukhari).
Meski begitu, Syekh Qaradhawi juga mengungkapkan, memang ada sebagian ulama yang memberikan keringanan bolehnya aborsi bagi korban pemerkosaan. Syaratnya, sang janin belum berumur 40 hari.
Bahkan, sebagian fukaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum berusia 120 hari, berdasarkan riwayat yang masyhur bahwa peniupan ruh terjadi pada waktu itu.
Syekh Qaradhawi tidak melarang seseorang mengambil keringanan tersebut jika uzurnya semakin kuat. Bisa jadi, sang korban sangat membenci orang yang memperkosanya dan akan selalu teringat kebenciannya setiap melihat sang anak yang dikandungnya. Kemudian, ia mengambil uzur menggugurkan kandungan sebelum 40 hari. Maka, menurut Syekh Qaradhawi, hal ini merupakan keringanan yang diberikan sebagian ulama yang difatwakan kerana darurat dan darurat itu diukur dengan kadar ukurannya.
Jika pun mengambil keringanan ini, haruslah dengan pertimbangan yang dibenarkan oleh ulama, dokter, dan cendekiawan. Jika kondisinya diputuskan tidak ada uzur, tetaplah ia dalam hukum asal, yaitu terlarang.