Selasa 24 May 2016 04:53 WIB

Raffles, Inggris, Istana Bogor, dan 'Simbol Kesengsaraan' Santri Jawa

Sultan Mataram tengah menggelar acara rampokan (adu macan melawan manusia).
Foto: Sampul Buku Penaklukan Jawa karya Major Wiliam Throne.
Sultan Mataram tengah menggelar acara rampokan (adu macan melawan manusia).

Bila berkunjung ke Istana Bogor yang dikelelingi hutan yang luas, maka pemandangan mata memang akan terasa sejuk. Gedung yang megah, rumput menghijau, serta dedaunan dari pohon raksasa yang lebat melambai tertiup angin. Suasana makin nikmat ketika berembus hawa dingin pegunungan di sekitar Bogor yang sepanjang tahun hampir selalu basah dengan guyuran hujan.

Namun, di balik pukauan keindahan itu, harap dipahami, di balik kemegahan itu tersimpan rasa duka yang panjang. Sebab, dari sinilah sebenarnya eksploitasi besar-besaran Pulau Jawa bermula. Dari sinilah segala hal mengenai aneka seluk tumbuhan yang ada di Jawa (nusantara) dipelajari dan nantinya dipraktikkan pada masa tanam paksa seusai Belanda bangkrut karena membiayai Perang Jawa.

Lalu, siapa biangnya? Jawabnya tak lain dan tak bukan adalah gubernur jenderal asal Inggris Thomas Stamford Raffles yang berkuasa di Hindia Belanda dari tahun 1811-1816. Dialah yang mengembangkan area Istana Bogor menjadi sebuah kebun dan istana yang cantik. Dengan bantuan para ahli botani yang membangun Kew Garden di London, Raffles menjadikan halaman Istana Bogor taman bergaya klasik Inggris. Dia pun menanami area taman itu dengan aneka tumbuhan dari berbagai penjuru nusantara.

Namun, sebenarnya, Raffles hanya pelanjut atau bukan pihak pertama yang membangun area kebun raya itu. Sebab, sebelumnya, tempat tersebut sebenarnya peninggalan Raja Kerajaan Sunda Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi (1474-1513) sebagaimana tertulis dalam prasasti Batutulis. Pada prasasti itu disebutkan bahwa hutan buatan itu merupakan samida (hutan/taman buatan). Samida serupa lainnya juga ada di perbatasan Cianjur dan Bogor yang dikenal dengan sebutan hutan Ciung Wanara.

Selain itu pula, sebelum Raffles datang, Gubernur Hindia Belanda Jenderal Van der Capellen sudah merintis pembangunan kebun raya. Pada pertengahan abad ke-18 dia membangun sebuah rumah peristirahatan di salah satu sudutnya. Sedangkan, pada masa sebelum Capellen berkuasa, yakni semenjak Kerajaan Sunda takluk kepada Kesutanan Banten, hutan buatan atau samida di Bogor tersebut dibiarkan terlantar begitu saja.

Soal keberadaan Kebun Raya Bogor secara selintas sempat disinggung pada diskusi yang bertema mengenai Perang Jawa, di Museum Nasional Jakarta. Kepada sejarawan asal Inggris, Peter Carey, yang getol meneliti mengenai sosok Pangeran Diponegoro, seorang peserta mencoba mengonfirmasi data mengenai kaitan pemikiran eksploitasi besar-besaran Pulau Jawa melalui tanam paksa yang itu dimulai dengan berdirinya Kebun Raya yang di dalamnya ada bangunan Istana Bogor.

Menjawab pertanyaan itu, Carey membenarkannya. Ide tanam paksa memang salah satunya bermula atau terinspirasi dari kegiatan mengumpulkan dan meneliti tumbuhan yang dilakukan Raffles. Kebun Raya Bogor memang adalah tempatnya karena Raffles memang sempat tinggal di sana.

"Jadi kalau kemudian ada sebagian orang Indonesia menyatakan bahwa lebih baik dijajah Inggris daripada Belanda, saya kira itu pemikiran yang tidak tepat. Sebab, bagi saya keduanya (kolonial Belanda dan Inggris) sama saja,’’ ujar Carey seraya mencontohkan dahsyatnya eksplotasi Inggris yang terjadi di Malaysia dan India pada zaman kolonial dulu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement