REPUBLIKA.CO.ID, KATHMANDU -- Di salah satu sudut Masjid Jami Kathmandu, sepelemparan batu dari bekas istana yang telah disulap menjadi museum, tertidur jasad Begum Hazrat Mahal. Merana dan terpancung dari keagungan masa lalu.
Mahal adalah ratu di Awadh, sebuah negara bagian di India. Pada 1857, meletuslah pemberontakan melawan Inggris. Mahal melarikan diri ke kota Lucknow, India setelah pemberontakan itu menghancurkan wilayahnya.
Penguasa Nepal, Jung Bahadur Rana yang telah membawa pasukannya untuk membantu Inggris memadamkan pemberontakan, menawarkan suaka.
Dilansir dari Aljazirah, Ahad (22/5), Sekretaris Masjid Jami, M Hussain mengatakan banyak pendukung Mahal mengikutinya ke Nepal. Islam kemudian tersebar luas bersama para pengikut sang ratu yang terasing itu. Tapi, itu bukan perkenalan pertama.
Islam pada kenyataannya telah diperkenalkan ke Nepal jauh sebelum itu. Pedagang Kashmir pertama kali tiba di Kathmandu pada abad ke 15 dalam perjalanan mereka ke Lhasa, ibu kota Tibet. Banyak di antara mereka kemudian menetap di daerah Kantipur, yang sekarang menjadi Kathmandu, Bhaktapur, dan Lalitpur.
Masjid Kashmiri Takiya yang berusia 500 tahun, beberapa ratus kilometer dari istana Kathmandu adalah saksi bisu sejarah itu. "Muslim hidup sebagai minoritas yang diam selama berabad-abad di Nepal," kata Hussain.
Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir, terinspirasi oleh pemberontakan Maois yang berlangsung dari 1996 sampai 2006, mereka menjadi lebih vokal dan menampilkan diri.
Pemberontakan Maois membuka jalan bagi hak-hak politik dan budaya Muslim. Festival Muslim di Nepal dinyatakan sebagai hari libur untuk pertama kalinya pada 2008.
Baca juga: Sejarah Hari Ini: Polisi Tembak Mati Pasangan Kriminal Bonnie dan Clyde