Senin 23 May 2016 18:57 WIB

Pengamat: Setya Novanto Jangan Ulangi Kesalahan Pendahulu

Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto didampingi Sekjen Golkar Idrus Marhan menerima bendera Golkar dari Ketua Sidang Nurdin Halid usai Munaslub Partai Golongan Karya di Nusa Dua, Bali, Selasa (17/5).(Republika/Yasin Habibi)
Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto didampingi Sekjen Golkar Idrus Marhan menerima bendera Golkar dari Ketua Sidang Nurdin Halid usai Munaslub Partai Golongan Karya di Nusa Dua, Bali, Selasa (17/5).(Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Ujang Komarudin mengingatkan kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar yang baru, Setya Novanto agar tidak mengulangi kesalahan pendahulunya yang melakukan 'sapu bersih' terhadap rivalnya dalam penyusunan kepengurusan. Sebab hal itu bisa menimbulkan konflik baru.

"Sebagai Ketua Umum Golkar yang baru hendaknya Setya Novanto tidak mengulangi tindakan 'basmi bersih'. Seorang pimpinan semestinya mengayomi semua faksi dan mengeliminasi sekat-sekat politik yang ada, bukan malah menegaskan keberadaannya," katanya di Jakarta, Senin (23/5).

Sebelumnya, Setya Novanto unggul dengan perolehan 277 suara, mengalahkan Ade Komarudin dengan 173 suara dalam munaslub Partai Golkar di Bali, 14-17 Mei lalu.

Meskipun secara teknis, pemilihan belum selesai, namun pemilihan dihentikan. Dengan perolehan suara kedua kandidat yang mencapai lebih dari 30 persen tersebut, baik Setya Novanto maupun Ade Komarudin berhak melaju ke putaran kedua. Di luar dugaan, Ade Komarudin memilih untuk mundur sehingga pertarungan berhenti di satu putaran saja.

"Adalah sebuah keniscayaan bagi pemenang untuk mengakomodasi para pihak yang telah mendukungnya dalam suksesi kepemimpinan sebuah organisasi," ujarnya.

Namun katanya, yang tak kalah penting adalah bagaimana pemenang bersikap kepada pihak yang kalah. Indikator awal yang dapat dilihat adalah bagaimana pemenang, Setya Novanto, menyusun dan menata personelnya, baik di kepengurusan partai maupun konfigurasi di luar partai.

Sampai dengan hari ini, Setya Novanto baru mengumumkan penunjukan Sekretaris Jenderal Idrus Marham, Bendahara Umum Robert Kardinal, Ketua Harian Nurdin Halid, di samping itu penetapan posisi Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie.

Menurut Ujang, langkah Ade Komarudin yang kerap disapa Akom mundur dalam pencalonan diambil untuk menghindari peningkatan eskalasi friksi yang dapat berpotensi meruncingkan konflik, sebagaimana preseden pascasuksesi kepemimpinan sebelumnya.

"Ingat yang paling ekstrem, beberapa konflik internal Golkar berujung pada lahirnya partai baru," kata Ujang.

Ujang menjelaskan, tercatat ada empat partai politik yang masih eksis hingga kini lahir dari Golkar, yakni PKPI (berdiri tahun 1999), Hanura (2006), Gerindra (2008) dan NasDem (2011).

"Bila dicermati, perpecahan ini diakibatkan karena faktor yang serupa, yakni rekonsiliasi yang tidak berjalan mulus," ujarnya lagi.

Menurut Ujang, variabel utama mengapa rekonsiliasi tidak berjalan dengan baik adalah gagalnya kepengurusan baru dalam mengakomodasi aspirasi pihak yang berseberangan.

"Rivalitas berlarut-larut antara kepengurusan Munas Bali dengan Munas Ancol merupakan contoh nyata, residunya juga masih hangat," ucapnya.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement