REPUBLIKA.CO.ID, Drone dan kesehatan mungkin masih terdengar asing. Namun, dalam rangka meningkatkan akses ke sistem pengobatan vital, pemerintah Rwanda akan menggunakan drone untuk mendistribusikan pasokan darah ke wilayah terpencil.
Kementerian Kesehatan Rwanda bermitra dengan sebuah perusahaan robotika otonom berbasis di San Fransisco, Zipline dan Gavi yang juga bagian dari the Vaccine Alliance. Rencana perdana ini akan diuji coba musim panas tahun ini.
Proyek ini akan menguji lebih luas kemampuan drone mengirim produk medis dan vaksin lainnya. Setidaknya 15 pesawat tanpa awak akan diikutsertakan dalam misi ini. "Misi kami adalah mendistribusikan produk-produk medis yang penting untuk rumah sakit dan pusat-pusat kesehatan yang tidak terjangkau transportasi umum," kata CEO dan Co-founder Zipline, Keller Rinoudo, dilansir dari Medical News Today, Selasa (24/5).
Rinoudo mengatakan banyak pasien meninggal karena kurangnya obat-obatan medis yang rata-rata berjarak 75 kilometer (km) dari pusat. Ketika seorang pasien membutuhkan transfusi darah, antibiotik, atau vaksin misalnya, maka dokter, perawat, atau petugas pusat kesehatan setempat akan berkirim pesan ke Zipline dan drone akan mengirimkan persediaan yang dibutuhkan yang akan tiba dalam waktu 30 menit.
Drone yang digunakan dalam proyek ini memiliki kecepatan terbang hingga 140 km per jam. Serta mampu terbang dalam kondisi cuaca buruk juga angin kencang. Menggunakan GPS berkelas militer, drone ini terbang mandiri, berdasarkan rute yang telah ditentukan sebelum menurunkan muatannya di lokasi yang membutuhkan.
Zipline memilih Rwanda di Afrika karena infrastruktur penunjang medis di negara tersebut sangat kurang. Distribusi medis biasanya dilakukan dengan sepeda motor yang ongkosnya relatif lebih mahal.