REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi selesai menjalani pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada Selasa (24/5). Nurhadi menjalani pemeriksaan selama hampir delapan jam.
Namun terkait pemeriksaan pertamanya sebagai saksi dalam kasus dugaan suap pengajuan peninjauan kembali (PK) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu, Nurhadi enggan berkomentar lebih jauh. Ia pun menolak berkomentar saat ditanya perihal kasus yang diduga menyeretnya.
"Tidak, tidak, tidak," kata Nurhadi saat bergegas menuju mobilnya.
Begitu pun saat disinggung mengenai temuan uang Rp 1,7 Miliar oleh penyidik KPK dalam penggeledahan di kediaman dan ruangan kerjanya di Mahkamah Agung, ia menjawab dengan kata yang sama.
"Tidak, tidak, tidak," ucapnya.
Adapun pemeriksaan Nurhadi kali ini, ia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Doddy Ariyanto Supeno, Direktur PT Kreasi Dunia Keluarga dalam kasus dugaan suap pengamanan peninjauan kembali (PK) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
KPK memanggil Nurhadi dalam kasus ini lantaran ia dinilai mengetahui perkara-perkara yang berkaitan dengan kasus dugaan suap yang telah menjerat Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Edy Nasution dan seorang swasta bernama Doddy Aryanto Supeno.
Nurhadi juga telah diminta KPK untuk dicegah berpergian ke luar negeri dalam kurun waktu enam bulan ke depan. Bahkan, ruangan kerjanya di MA dan kediamannya telah digeledah KPK dan ditemukan uang senilai Rp 1,7 miliar.
Dalam kasus suap PN Jakpus, diketahui KPK telah menetapkan dua orang sebagai tersangka pasca operasi tangkap tangan yang dilakukan pada Rabu (20/4) lalu.
Keduanya, yakni Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, dan seorang swasta bernama Doddy Aryanto Supeno.
Dari operasi itu, KPK menemukan uang Rp 50 juta dalam bentuk pecahan Rp 100 ribu yang ditengarai sebagai uang 'pelicin' terkait pendaftaran atau pengajuan perkara peninjauan kembali (PK) di PN Jakarta Pusat.
KPK kemudian menjerat Doddy selaku pemberi dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara Edy sebagai penerima dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 64 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.