REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Pada hari ketiga Konferensi Internasional Forum Doha Qatar, Senin (23/5), Ustaz Muhammad Zaitun Rasmin mendapat kesempatan sebagai penanggap. Ketua Ikatan Ulama dan Dai Asia Tenggara ini menyampaikan bahwa problematika dalam mewujudkan masyarakat madani saat ini terutama karena tidak adanya model nyata yang dapat menjadi contoh atau patokan.
Dia menjelaskan, tidak ada satu negara pun atau satu komunitas manapun yang dapat memerankan sebagai model masyarakat madani. Karena itu, seharusnya kita kembali merujuk model masyarakat madani yang telah pernah ada dalam sejarah. "Itu dapat ditemukan dalam sejarah indah umat Islam yang pernah mewujudkan masyarakat madani dalam banyak episode sejarahnya," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (24/5).
Dia mencontohkan, masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, juga di zaman Khulafaurrasyiidiin khususnya pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Kemudian di zaman Umar bin Abdul 'Aziz dari Bani Umayyah dan di zaman Harun Arrasyiid dari Bani abbasiyah. Dan beberapa episode lain sesudah itu di Andalusia (Spanyol) dan pada Khilafah Utsmaniyah.
Ada tiga unsur penting yang dapat menjadi alasan mengapa itu bisa menjadi model bagi perwujudan masyarakat madani. Pertama, karena sangat jelas dan lengkap dalam semua sisi ideal masyarakat madani. Kedua, hal tersebut telah terjadi berulang ulang sehingga bukan sesuatu yang kebetulan.
Ketiga, konsep lengkap tentang dasar dan metode pembangunan masyarakat madani tersebut sampai sekarang masih otentik dan sangat lengkap dengan berbagai variasi pengembangannya. Bahkan konsep itu sangat dinamis tanpa harus kehilangan dasar-dasarnya.
Karena itu, Zaitun mengajak para pakar yang menggeluti bidang ini terlebih lebih dari kalangan kaum Muslimin untuk kembali mengkaji secara mendalam hal tersebut. "Dan tidak malu untuk menampilkannya dalam konferensi dan forum-forum internasional seperti pada forum Doha ini," ujarnya.
Usai memberikan tanggapan tersebut, banyak dari peserta menyatakan salut dan sangat setuju dengan masukan itu. Diantaranya Professor Charles Chatterjee dari Inggris, Professor Seydou Diouf dari Senegal, dan Duta besar Mauritania di Doha Qatar.