REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Selama berada di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah berulang kali melakukan penggusuran paksa terhadap warganya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengungkap, ada lebih dari seratus kasus penggusuran yang terjadi di Ibu Kota sepanjang tahun lalu.
“Menurut hasil penelitian kami, ada 113 kasus penggusuran paksa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dari Januari hingga Desember 2015,” tutur peneliti dari LBH Jakarta, Yunita, kepada Republika.co.id, Selasa (24/5).
Ia mengatakan, penggusuran paksa tahun lalu paling banyak terjadi di wilayah Jakarta Timur dan Utara yang masing-masing jumlahnya sebanyak 31 kasus. Selanjutnya disusul oleh Jakarta Pusat dengan jumlah 23 kasus. Posisi terakhir diisi oleh Jakarta Barat dan Selatan, masing-masing 14 kasus.
“Jumlah korban yang terdampak oleh semua penggusuran itu mencapai 8.145 kepala keluarga (KK) dan 6.283 unit usaha,” ucap Yunita.
Berdasarkan temuan yang diperoleh LBH Jakarta, ada banyak pelanggaran Pemprov DKI Jakarta dalam menjalankan kebijakan penggusuran di Ibu Kota sepanjang 2015. Pelanggaran pertama, kata Yunita, pemerintah daerah cenderung menggunakan cara-cara kekerasan saat menggusur warga.
“Yang lebih disayangkan lagi, tidak ada proses musyawarah atau dialog yang dilakukan Pemprov DKI dengan warga yang terkena dampak program tersebut. Penggusuran cenderung diambil secara sepihak oleh pemerintah,” ungkap Yunita.
Pelanggaran kedua, mayoritas warga ternyata tidak mendapat rumah susun (rusun) seperti yang digembar-gemborkan Ahok. Dari 113 penggusuran yang dilakukan Ahok pada 2015, LBH Jakarta mencatat para korban penggusuran di 72 lokasi malah tidak kebagian rusun sama sekali.
Pelanggaran selanjutnya, penggunaan alat berat semacam ekskavator dan buldoser dalam proses penggusuran menyebabkan banyak warga yang kehilangan harta bendanya. Padahal, harta benda itu diperoleh warga dari hasil jerih payah mereka mencari nafkah selama bertahun-tahun.
“Selain itu, penggunaan kekuatan aparat keamanan (TNI dan Polri) yang berlebihan ketika penggusuran, juga melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan. Seharusnya kebijakan penataan kawasan kota bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang lebih humanis,” ucap Yunita.