REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena 'antikomunisme' yang diikuti oleh pelarangan dan bahkan razia yang marak akhir-akhir ini membuat Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) prihatin. Apalagi ditenggarai bahwa hal ini terjadi juga sebagai ekses atau akibat dari pernyataan dan sikap beberapa pejabat dan aparat negara yang disampaikan secara terbuka ke publik.
Disadari atau tidak, hal ini telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Karena itu, PGI menilai bahwa apa yang sekarang ini terjadi sudah sangat berlebihan dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Jika tidak dihentikan maka akan makin menimbulkan keresahan sosial yang bisa saja mengarah kepada konflik sosial dalam masyarakat yang bisa memecah-belah bangsa. “Kami sangat prihatin,” Ketua Umum PGI Henriette TH Lebang, semalam.
Menurut dia, fenomena ini seperti hendak mengembalikan masyarakat pada suasana Orde Baru. Di masa itu, pemerintah berupaya meredam segala bentuk ideologi yang tidak sejalan dengan selera penguasa. "Juga meredam segala bentuk diskusi dan perbincangan yang berbeda dengan tafsir tunggal penguasa mengenai sejarah bangsa kita, khususnya yang terkait dengan Peristiwa 1965”, kata Henrietta.
PGI menilai keadaan ini merupakan langkah mundur dari cita-cita reformasi. Bahkan PGI menilai ada upaya mengondisikan masyarakat untuk berhenti berpikir dan hanya akan mengaminkan apa yang penguasa atau pihak mainstream katakan. Dengan kondisi sedemikian, maka tujuan pembentukan Negara RI, sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, akan sulit untuk dicapai. “Yang akan terjadi malah sebaliknya, proses pembodohan,” tambah Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom.
(Baca Juga: Ini 5 Permintaan PGI ke Pemerintah Terkait Isu Kebangkitan Komunisme)