REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga peradilan kembali tercoreng akibat ulah hakim yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap. Mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki menilai, hal itu bukan hal baru dalam lembaga peradilan di Indonesia.
"Jual beli perkara itu bukan baru, udah lama, ini akumulasi panjang dunia peradilan," kata Suparman dalam diskusi publik bertajuk 'Mahkamah Agung dan Mafia Peradilan' di MMD Initiative, Menteng, Jakarta, Rabu (25/5).
Namun, ia menyayangkan banyak pihak tutup mata terhadap praktik-praktik yang ada di dunia peradilan tersebut. Menurutnya, tidak ada pembenahan yang nyata, meski kasus-kasus tersebut terus berulang.
Ia menilai, perhatian terhadap pembenahan lembaga peradilan biasanya hanya jangka pendek. "Problem dan respons daya ingat publik itu pendek, sekarang masih marah, minggu depan lupa, publik sudah tidak punya perhatian, kita kembali kehilangan momentum memperbaiki," kata Suparman.
Lantaran itu kata dia, momentum tertangkapnya hakim tindak pidana korupsi PN Bengkulu harus menjadi titik balik pembenahan lembaga peradilan terutama dalam manajemen perkara.
Baca juga, Ketua Pengadilan Negeri di Bengkulu Ditangkap dalam OTT KPK.
Selama ini, sistem manajemen perkara kerap menjadi celah terjadinya kasus tindak pidana korupsi. Hal itu pula yang ia pantau, selama lima tahun di KY. Celah terjadi di beberapa proses penanganan perkara, salah satunya di Mahkamah Agung.
Di antaranya, dalam proses memperlambat dan mempercepat, serta mengunggah putusan dan penyalinan putusan kepada jaksa, penggugat atau tergugat. Kemudian menahan kasasi agar kasus berlarut-larut serta membocorkan putusan kasasi kepada terpidana dengan tujuan mengulur waktu. "Memang hal itu yang terjadi," katanya.