REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Purwakarta mengklaim program asuransi sawah yang digulirkan pusat tak diminati petani di wilayahnya. Pasalnya, sampai saat ini, luasan sawah yang telah diasuransikan sangat minim.
Kepala Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Purwakarta Agus Rachlan Suherlan mengatakan, hanya 3,2 hektare sawah di Kabupaten Purwakarta yang sudah ikut asuransi pertanian. Sawah tersebut tersebar di Kecamatan Bojong dan Pondoksalam.
Minat petani Purwakarta untuk ikut asuransi sangat minim. Mereka beralasan, gangguan terhadap pertaniannya tak begitu krusial. “Petani bilang, tidak ada gangguan krusial yang berdampak pada gagal panen,” ujar Agus, kepada Republika.co.id, Rabu (25/5).
Berbeda dengan daerah lain, seperti Kabupaten Subang atau Karawang, ancaman gagal panen lahan pertaniannya sangat tinggi. Seperti, serangan bencana alam atau serangan hama. Di Purwakarta, petani hanya mengkhawatirkan ancaman hama. Itupun tidak separah wilayah lain sehingga petani merasa serangan ini masih dapat diantisipasi.
Dengan kondisi ini, petani di Purwakarta tak berminat ikut asuransi tersebut. Padahal, lanjut Agus, pihaknya sudah mendorong dan mengusulkan luasan lahan yang ikut asuransi mencapai 5.060 hektare. Lahan ini terdiri atas 5.000 hektare sawah dengan konsep jajar legowo (jarwo) dan 60 hektare sawah padi organik.
“Tapi, tetap saja tidak direspons dengan baik oleh petaninya,” ujar Agus.
Menurut Agus, asuransi sawah ini sangat penting. Sebab, bila terjadi gangguan yang berdampak pada gagal panen, petani bisa mendapatkan ganti rugi dari asuransi. Adapun besaran ganti ruginya mencapai Rp 6 juta per hektare. Selain itu, untuk pembayaran preminya tidak terlalu memberatkan petani.
Total premi asuransi pertanian ini mencapai Rp 181 ribu per hektare per musim. Namun, petani hanya perlu membayar Rp 36 ribu per musim karena sisanya Rp 145 ribu merupakan subsidi dari pemerintah.
Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Purwakarta Ujang Alim mengakui, minimnya petani ikut asuransi ini bukan 100 persen kesalahan petani. Ia menilai, program ini kurang sosialisasi dan edukasi, terutama dari perusahaan asuransi yang telah ditunjuk pemerintah.
“Selama ini, yang memberikan edukasi hanya dari dinas, pihak asuransi, organisasi petani, gapoktan (gabungan kelompok tani—Red) tidak dilibatkan,” ujarnya.
Kalau saja KTNA di kecamatan dan gapoktan dilibatkan dan diedukasi langsung oleh pihak asuransi, petani akan tertarik. Sedangkan, yang terjadi di lapangan, sosialisasi oleh dinas hanya sebatas seremoni.