REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolda Sultawesi Tengah Brigjen Rudy Sufahriadi mengatakan, ada enam orang suku Uighur yang bergabung dengan kelompok teroris Santoso. Dari enam orang tersebut, kini yang tersisa hanya satu orang.
"Itu ada enam orang, dalam perjalanan Operasi Tinombala ini ada lima yang meninggal dan sisanya tinggal satu (yang hidup)," jelas Rudy di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (26/5).
Rudy menjelaskan, berdasarkan keterangan dari empat anggota kelompok Santoso yang ditangkap, suku Uighur memiliki kemampuan fisik yang sangat bagus. Peran suku tersebut sebagai pembawa bekal logistik kelompk Santoso selama tinggal di pegunungan Uwe Mayea, Pantangalemba, Poso, Sulawesi Tengah.
"Ibaratnya, kalau beras satu karung kita angkat berdua, nah mereka sendiri," ujar Rudy sebagai pemimpin Operasi Tinombola.
Selain itu, sambungnya, suku Uighur juga lincah dan tangkas. Awalnya mereka di pegunungan hanya mengandalkan kekuatan fisik, namun suku tersebut kemudian belajar bahasa untuk komunikasi, membuat bahan peledak, dan menembak.
"Kemampuan-kemampuan lain dia justru belajar di Indonesia, dia belajar dengan teman-teman Santoso di atas," paparnya.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar mengatakan, dalam sejarah terorisme mereka tidak terlepas dari keterlibatan orang luar. Oleh karena itu, pengamanan di jalur-jalur masuk sering kali dilakukan petugas.
Selain itu, saat sudah ditangkap, petugas juga menghadapi kesulitan lain. Misalnya tersangka yang ditangkap mengaku tidak bisa berbahasa Indonesia, Inggris, maupun Amerika. "Pengalaman dalam operasi, keterusterangan dan keterbukaan ini sangat minim" ujar Boy.
Oleh karena itu, selain menggali keterangan dari anggota yang tertangkap, aparat juga bekerja sama dengan otoritas lain. Hal tersebut dilakukan untuk menghentikan dan menangkap kelompok teroris tersebut.