REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melakukan perjanjian dengan pengembang swasta terkait kontribusi tambahan dengan menggunakan hak diskresi dipermasalahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anggota Komisi D DPRD DKI Prabowo Soenirman mempertanyakan kewenangan diskresi yang dijadikan alasan Ahok untuk menetapkan nilai kontribusi tambahan bagi perusahaan pemegang izin reklamasi. Dia berharap, diskresi semacam itu tidak ditiru daerah lain karena bisa dijerat hukum.
Prabowo heran dengan sikap Ahok yang berlindung di bawah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang baru terbit pada September 2014. Padahal, ketika Ahok menggelar rapat bersama pengembang reklamasi pada Maret 2014, baru diputuskan pengenaan kontribusi tambahan. Sehingga, ia menilai, kewenangan diskresi yang dijalankan Ahok tak bisa dipertanggungjawabkan.
"Dasar hukumnya apa sampai dia bilang tidak ada yang salah? Ini jangan jadi satu percontohan bagi provinsi lain dan daerah-daerah lain ya," kata politikus Partai Gerindra itu kepada Republika, kemarin.
Prabowo malah menuding Ahok selama ini bertindak sendiri dengan tidak pernah berkonsultasi dengan DPRD DKI yang memiliki fungsi pengawasan kepada Pemprov DKI. Karena itu, jika Ahok menetapkan keputusan berdasarkan diskresi, tentu itu dilakukan tanpa sepengetahuan DPRD.
"Coba kalau semua dilakukan, dampaknya kan DPRD tidak akan ada gunanya. Bayangkan kalau DPRD tidak tahu semua yang dikerjakan oleh Pak Gubernur, bagaimana mengawasinya? Kalau semua dikerjakan secara diskresi tadi, DPRD kan tidak dilibatkan," ujarnya.