REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual, khususnya terhadap anak-anak. Perppu itu memuat tentang hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Gandjar Laksmana Bonaprapta meragukan bahwa Perppu tersebut akan efektif. Sebab, dia menilai, bentuk nyata suatu aturan perundang-undangan terletak pada aplikasinya. Dia menjelaskan, kepekaan pihak jaksa dan kemudian hakim seharusnya lebih menjadi fokus.
"Ancaman sanksi berat di undang-undang kalau tak pernah diterapkan, tak pernah dijatuhkan, untuk apa? Bagaimana kalau di undang-undang ancamannya mati atau seumur hidup tapi jaksanya nanti menuntut cuma 10 tahun? Hakimnya memutuskan lima tahun? Terus sama Kementerian Hukum dan HAM, (pelaku) dikasih remisi? Dua setengah tahun, keluar dia," jelasnya saat dihubungi wartawan, Kamis (26/5).
Dia kemudian mengkritik isi Perppu tersebut. Menurutnya, hanya Indonesia yang memiliki ancaman hukuman pidana minimal 10 tahun penjara. Hal itu menunjukkan, penyusunan Perppu tersebut masih didominasi aspek emosional, alih-alih pertimbangan yang sistematis. Karenanya, Gandjar mengaku pesimistis pidana minimal 10 tahun itu akan lolos dalam pembahasan undang-undang dengan parlemen nanti.
"Jadi di seluruh dunia, kejahatan paling serius ini hanya ada di Indonesia. Minumumnya 10 tahun. Dunia internasional kaget kalau tahu Perppu kita ini. Makanya saya anggap, Perppu ini emosional. Makanya kalau bikin undang-undang, jangan di saat marah. Jadilah seperti ini," katanya.
Gandjar menjelaskan, semestinya pemerintah juga meningkatkan upaya pencegahan kekerasan terhadap anak secara terstruktur dan sistematis. Misalnya dengan memperkuat program-program di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Sehingga, kementerian tersebut dapat lebih aktif melakukan prevensi hingga ke semua RT/RW di Tanah Air.
"Kita berharap, peristiwa (kekerasan seksual terhadap anak) tidak terjadi. Kalau hanya memperberat ancaman pidana, berarti kita berharap, ada pelaku yang kita hukum berat. Padahal kan kita maunya tidak ada peristiwa itu," ujarnya.
Selain itu, penegak hukum juga mesti ditingkatkan kepekaannya dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak. Korban harus didampingi psikolog setiap kali pemeriksaan berlangsung di kepolisian.
"Polisinya harus dilatih secara khusus, supaya pada waktu memeriksa korban tak terkesan justru menginterogasi. Apalagi kalau korbannya anak di bawah umur. Orang dewasa saja trauma, apalagi anak-anak."