REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Human Right Watch (HRW) mengungkapkan pembongkaran kuburan massal 1965-1966 harus melibatkan ahli forensik yang independen untuk menjamin kelengkapan barang bukti dan akurasi identifikasi korban.
"Karena merupakan lokasi kejahatan, maka kuburan massal harus diperlakukan seperti layaknya lokasi kejahatan, yaitu melibatkan ahli forensik untuk mengetahui bagaimana korban tewas," kata peneliti senior Divisi Asia HRW, Andreas Harsono, di Jakarta, Kamis (26/5).
Pelibatan ahli forensik bertujuan agar pembongkaran mendapatkan informasi yang kaya. Pemerintah sendiri saat ini masih mencari dua sampel kuburan di Pati dan Wonosobo, Jawa Tengah.
"Apabila hanya sekadar digali dan tidak profesional menyebabkan tidak mendapat informasi yang kaya. Juga bisa menyebabkan hilangnya barang-barang berharga yang turut terkubur, seperti misalnya cincin kawin yang memuat identitas pasangan dan benda logam lain yang tidak terurai dalam tanah," kata Andreas.
Untuk jangka panjang, setelah 'sampling' dua kuburan dilakukan, HRW merekomendasikan Presiden Joko Widodo untuk membentuk sebuah Komisi Kepresidenan yang meneliti kuburan-kuburan massal.
"Kuburan yang diteliti bukan hanya terkait peristiwa 1965-1966, namun juga diduga lokasi kuburan lain seperti di Papua, Sambas, dan Sampit," kata Andreas.
Belajar dari negara lain, komisi semacam itu dipimpin oleh anggota dengan jumlah ganjil dan menjalankan prinsip pencarian kebenaran (truth telling), seperti menggali kuburan massal, mencari kesaksian penyintas, dan perlindungan saksi.
"Restorasi hak-hak mereka yang terdampak juga perlu. Masih ada sekitar 40 juta orang terpengaruh bersih lingkungan, di mana mereka tidak bisa bekerja di institusi kepolisian, tentara, dan pegawai negeri sipil. Itu diskriminasi," kata Andreas.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pada 25 April 2016 meminta Menkopolhukam Luhut Pandjaitan untuk mencari lokasi-lokasi yang menjadi kuburan korban pembunuhan massal 1965-1966. Perintah tersebut muncul setelah pelaksanaan Simposium Tragedi 1965 pada 18-19 April 2016 di Jakarta.
Keberadaan kuburan korban pembunuhan massal tersebut dibutuhkan sebagai pembuktian sejarah terkait pembantaian warga negara diduga pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).