REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, dalam perspektif hukum pidana, pendekatan yang digunakan aparat penegak hukum cenderung kaku dan konservatif. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak disamakan dengan korupsi atau maling sehingga pemutusan hukuman tidak sejalan dengan tuntutan Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak atau KUHP secara maksimal.
Koruptor melakukan kriminal dengan motif ekonomi. Sedangkan, kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena pelaku mengganggap dirinya lebih kuat dan berkuasa atas korban. "Itu lebih kejam daripada koruptor. Berdasarkan alasan perbuatan saja, pertimbangan hukumannya harus sudah memberatkan," kata Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution kepada Republika.co.id, Jumat (27/5).
Masih banyak kendala dalam proses penegakan hukum dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak. Dalam perspektif teori kriminologi, misalnya, penegak hukum masih mengandalkan keberadaan bukti fisik seperti DNA pelaku yang masih melekat di tubuh korban ataupun luka di alat kelamin maupun anggota tubuh lain.
Permasalahannya, para korban kekerasan sesksual baru melapor ke aparat beberapa hari, bahkan berbulan-bulan. Pasalnya, mereka harus meneguhkan mental dan batin terlebih dahulu. "Akibatnya, dalam memproses perkara, aparat memakai pendekatan keraguan yang beralasan dan hanya membangun konstruksi kasus berdasarkan laporan para korban tanpa disertai bukti forensik," kata Maneger.
Hal itu yang membuat jaksa dan hakim bersikap sangat hati-hati dalam mengambil keputusan dan tidak menjatuhkan hukuman maksimal. Keterangan dari korban berusia anak juga kerap diremehkan dan dipandang tidak valid.
Kendala kultural juga sering menghambat korban dan keluarganya untuk cepat melaporkan peristiwa kekerasan seksual terhadap anak. Mereka memandang kejadian tersebut sebagai aib keluarga. Untuk itu, di negara tetangga, seperti Filipina, aparat hukumnya lebih memberatkan pencarian bukti kepada pelaku, bukan korban.