REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya melakukan pertemuan bilateral dengan perwakilan Uni Eropa di sela-sela pertemuan PBB Bidang Lingkungan Hidup UNEA-2 di Nairobi. Siti menyampaikan kepada Komisioner Uni Eropa, H.E. Kamenu Vella bahwa ikan banggai atau cardinalfish (Pterapogon kauderni) yang banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai ikan hias tidak perlu masuk dalam CITES Appendix II. Hal ini sedianya akan dibahas pada COP 17 CITES di Johannesburg, Afrika Selatan pada Bulan September 2016.
CITES Appendix II adalah daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi berpotensi terancam punah apabila diperdagangkan tanpa adanya pengaturan. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora - konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam) adalah perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963.
Alasan yang mendasari Menteri LHK mengapa ikan banggai/cardinalfish (Pterapogon kauderni)tidak perlu dimasukan kedalam CITES Appendix II karena populasi dari spesies ini terkelola dengan baik. Posisi Indonesia menolak pengajuan listing ikan banggai dalam sidang COP CITES dengan alasan status endemik ikan tersebut di Banggai sudah tidak relevan lagi. Sebab, ikan banggai telah tersebar dan ditemukan ditempat lain seperti di Selat Lembeh.
Selain itu, Indonesia telah melakukan upaya konservasi jenis tersebut antara lain sebagai salah satu spesies prioritas. Kegiatan penangkaran spesies tersebut juga telah melibatkan masyarakat lokal dan sukses melalui fasilitas penangkaran di Manado.
Namun demikian Indonesia merespon positif perhatian Uni Eropa terkait konservasi ikan banggai. Indonesia mengundang dukungan Uni Eropa untuk meningkatkan upaya konservasi yang telah berjalan serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat mengingat ikan banggai menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat.