REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Presiden RI Joko Widodo baru saja menandatangani peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Salah satunya adalah lewat hukuman kebiri kimiawi.
Pelaku akan diinjeksi secara berkala agar dorongan seksualnya tetap lumpuh. “Persoalannya, siapakah yang sudi jika sekian persen anggaran negara malah dialokasikan untuk ‘merawat’ secara teratur makhluk-makhluk laknat yang telah memangsa anak-anak?” kata ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (27/5).
Suntik hormonal dalam rangka mematikan nafsu seksual predator akan mendatangkan efek samping, baik fisik maupun psikis. Ketika efek samping itu muncul dan si predator merasa perlu berobat, maka secara prosedural ia akan mengunjungi puskesmas, dokter umum di rumah sakit, lalu dokter spesialis di rumah sakit.
Sumber pembiayaan si predator berasal dari Kartu Indonesia Sehat (KIS). Reza pun mempertanyakan, sampai hatikah pemerintah membiarkan KIS-nya digunakan oleh penjahat-penjahat seksual?
Komisioner Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) ini mengatakan, kebiri kimiawi bukan hanya tidak efektif jika ditujukan untuk menimbulkan efek jera, tetapi juga membahayakan dan merugikan.
Baca juga, Jokowi Minta Hukuman Kebiri Segera Diterapkan.
Reza menyarankan pemberatan hukuman bagi predator seksual tersebut harusnya menggabungkan sanksi pidana dan sanksi sosial. “Daripada menyuntik predator berulang kali untuk mematikan berahi, lebih baik berikan satu ampul injeksi yang membuat predator mati. Itu sanksi pidana maksimalnya,” ujarnya.
Sementara, dari sisi sanksi sosial, bisa dilakukan dengan memberi tanda di bagian tubuh pelaku. Tak hanya itu, perlu juga adanya pemberian tanda khusus di KTP elektroniknya agar ruang gerak pelaku tersumbat, pelarangan untuk keluar dari radius sekian kilometer di jam-jam tertentu, serta pembangunan basis data yang memampangkan foto dan data diri si predator kepada masyarakat luas.