Jumat 27 May 2016 18:40 WIB

Guru Besar FH UII Sebut Kebiri tak Dikenal dalam Hukum Islam

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Teguh Firmansyah
Kebiri kimia (ilustrasi)
Foto: www.sydneycriminallawyers.com.au
Kebiri kimia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, mengatakan, hukuman kebiri tidak dikenal dalam hukum Islam. Dalam kajian ilmu hukum Islam yang membahas tentang kriminalitas (jinayat), tidak ada penyebutan hukuman kebiri.

 

"Di dalam nash (suatu lafaz yang tidak mungkin mengandung pengertian lain selain yang ditunjukkan oleh lafaz itu), yang ada hanya hukum cambuk," ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (27/5).

Cambuk memberikan hukuman pada fisik yang mampu memberi sengatan pada si pelaku agar tidak melakukan kejahatan seksual lagi. Kebiri, kata Mudzakkir, sama saja dengan 'mematikan' sesuatu yang merupakan bekal hidup manusia.

"Mematikan hasrat keinginan seksual tidak dikenal dalam Islam," ujarnya. Kebiri bukan hanya mematikan hasrat seksual si pelaku, tapi juga membuat orang tersebut tak memiliki semangat. Sementara dengan adanya cambukan, si orang tersebut mungkin akan merasakan kesakitan, namun tetap memiliki semangat hidup.

Saat ditanya hukuman apa yang cocok bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, Mudzakkir menyebut agak sulit menetapkannya. Dalam Islam, perbuatan zina adalah kejahatan yang sangat berat. Apalagi jika zina tersebut disertai dengan adanya penyimpangan hasrat seksual. Artinya, ada dua kejahatan yang diperbuatnya.

"Zina itu hukumannya berat. Apalagi kalau dilakukan lewat perkosaan, maka hukumannya harus lebih berat," kata Mudzakkir. Kekerasan seksual terhadap anak bisa dikatakan sebagai kejahatan luar biasa.

Baca juga, Jokowi Minta Hukuman Kebiri Segera Diterapkan. 

Di Indonesia, tidak ada hukum yang melarang hubungan seksual kecuali hukum agama. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ditujukan untuk orang yang sama-sama suka melakukan hubungan seksual meski bukan pasangan suami-istri. Alhasil, jika terjadi pemerkosaan, maka yang dilarang adalah tindakan kekerasannya.

Sebaliknya, dalam hukum Islam, keduanya dilarang baik hubungan seksual (yang bukan muhrim) apalagi tindak kekerasannya. Mudzakkir menyarankan, apabila pemerintah hendak menyiapkan hukuman, maka hendaknya mencari faktor penyebab terjadinya penyimpangan seksual.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement