Oleh Hafiz Muftisanny
REPUBLIKA.CO.ID, Dunia hukum Indonesia kembali tercoreng. Salah satu hakim yang seharusnya memberikan rasa adil mencederai rasa keadilan dengan menerima suap. Kasus suap yang melibatkan oknum penegak hukum seolah terus berulang. Ancaman sanksi tinggi dalam penindakan korupsi seolah tak mempan bagi para mafia peradilan ini.
Lalu, bagaimanakah hukum Islam melihat perbuatan para oknum penegak hukum yang melacurkan hukum dengan menerima suap? Suap dalam hukum Islam dikenal dengan istilah risywah. Hukum memberi, menjadi perantara dan penerima suap adalah haram.
Ibnu Abidin menjelaskan, suap adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim ataupun orang lain agar dia memberi keputusan yang memihak kepada orang yang menyuap atau agar keputusannya sesuai dengan apa yang diinginkan si penyuap.
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menerangkan, lewat pengertian tersebut, menjadi jelas bahwa bentuk suap lebih umum dari sekadar harta maupun jasa yang bisa dijadikan atau digunakan suap. Sementara itu, yang dimaksud dengan hakim di dalam pengertian tadi adalah seorang yang berprofesi hakim ataupun orang lain yang bisa diharapkan memenuhi kepentingan orang yang menyuap baik itu pemimpin negara, karyawan-karyawannya, atau staf.
Sedangkan yang dimaksud dengan memberi keputusan yang memihak orang yang menyuap adalah menjadikan keputusan tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang yang menyuap, baik maksud tersebut benar maupun salah.
Suap termasuk di antara dosa-dosa besar yang diharamkan Allah SWT. Rasulullah SAW pun telah melaknat pelaku suap. Dalam suap terdapat kerusakan yang amat hebat, dosa yang besar, dan mengakibatkan dampak yang sangat buruk. Suap termasuk kriteria saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran yang dilarang oleh Allah SWT dalam firman-Nya, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS al-Maidah [5]:2)